Pada
tahun-tahun 1960-an Ludruk adalah salah satu media untuk hiburan masyarakat
pedesaan, yang sangat akrab. Karena didalamnya ada tarian Remo, ada cerita yang
aktual, ada dagelan yang membuat masyarakat tertawa, ada musik Jawa yang khas
dengan nada kendang yang menggetarkan, dan ada peran wanita yang dilakukan oleh
laki-laki. Masih ada lagi yaitu tata panggung yang dibahagian belakang itu ada kelir (dekorasi panggung dalam bentuk
gambar), yang kesemuanya itu sangat diapresiasi oleh masyarakat.
Pada saat itu
kakak kandung saya, yaitu Isdiwanto adalah penari Remo pada kesenian Ludruk
yang dikagumi oleh masyarakat pedesaan. Bila tari remo tersebut memulai
manggung, maka sang penonton di lapangan itu serentak duduk dan menikmati tari
Remo yang atraktif sekali. Tari Remo adalah tari gerak yang dengan pakaian yang
sangat khas, iaitu ada “jamang” sebagai penutup kepala, ada selendang atau
sampur yang, dan di kakinya ada gongseng yang memberikan nada hentakan yang
mengasyikkan.
Isdiwanto
(alm) lahir di Trenggalek, di Desa Ngadirenggo. Pada saat remaja ia berkelana
sambil berdagang di Jombang, dan di situlah ia belajar menari Remo pada suatu
paguyuban Ludruk. Rupanya Isdiwanto sangat menghayati Tari Remo itu dengan
sepenuh hati. Artinya tidak hanya belajar tariannya, tetapi isi dari tarian
Remo itu ia kaji secara dalam sampai kepada makna. Beliau pernah bercerita
bahwa menari Remo itu ada “mantra” yang diperembahkan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, yaitu persembahan yang diwujudkan dalam awal tarian dan akhir tarian.
Saat beliau mengawali menari Remo, mesti melakukan persembahan do’a kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan diwujudkan dalam bentuk menyatukan kedua
tangannya dan disentuhkan pada hidungnya. Secara terintegrasi dengan mengawali
gerak tarian Remo, dan meneruskan urutan tariannya sampai tuntas, dan pada saat
menutup tariannya beliau menjadikan kedua belah tangannya menyatu menyentuh
hidung, dan tumit salah satu kakinya di tempatkan pada lubang pantatnya sembari
menarik nafas untuk menutup “babagan hawa
sanga” untuk paripurna tariannya.
Telaah Kearifan Lokal Tari Remo
Dari
referensi yang didapatkan dari internet bahwa Tari Remong (Remong) berasal dari Desa Ceweng Kecamatan Diwek di Kabupaten
Jombang. Salah satu tokoh Ludruk dari Jombang yang sangat terkenal adalah
Asmuni. Jombang yang sangat dikenal dengan Kota Santri, ternyata menyimpan
budaya daerah yang menjadi Trade mark Jawa Timur. Tari Remo yang
awalnya adalah sebagai tari yang digunakan untuk ngamen, pada akhirnya menjadi
Tarian Khas Jawa Timur yang digunakan untuk penyambutan Tamu Kenegaraan. Jawa
Timur kaya akan tari daerah, yang pada akhirnya adalah tari yang khas, dan
menjadi aset negara. Seperti tari Jaranan Buto yang diciptakan oleh seniman
dari Trenggalek, yang pada mulanya tari Jaranan Buto ini sebagai Tolak Bala (mengusir kejahatan dan
penyakit), pada akhirnya menjadi tari khas daerah sebagai tari yang bersifat Local Genius atau kearifan lokal. Begitu
juga salah satu tarian dari Banyuwangi, yaitu tari Gandrung yang merupakan tarian hiburan rakyat,
pada akhirnya menjadi tari khas Jawa timur yang bersifat Local Genius.
Kembali
kepada Tari Remo, setelah dilakukan berbagai penelaahan melalui internet,
ternyata tari Remo adalah penggambaran dari Tari Perjuangan. Tarian
yangmenggambarkan perjuangan seorang Pangeran di medan laga. Sebagai wujud dan
penggambaran perjuangan, justru itu pada awal dan akhir dari Tari remo ini ada
sesembahan, yang merupakan “do’a” keselamatan dalam medan laga. Tari Remo
sebagai pembuka pada drama daerah atau Ludruk, karena Ludruk adalah hiburan
rakyat yang sangat digemari oleh masyarakat Jombang, dan masyarakat Jawa Timur.
Tari Remo
menggambarkan perjuangan, dan juga sebagai hiburan, yang terdiri dari tiga
penggalan, yaitu penggalan pembuka, ngidung
dan parikan, dan bagian penutup. Salah satu kekahasan tari Remo adalah
kidungan yang merupakan ungakan dalam pantun yang bernada menghibur masyarakat
dengan gending yang khas. Salah satu parikan yang di unggah oleh Eny Mamito
yang dicuplik dari kidungan Kholik, adalh seperti berikut
Suatu
apresiasi pada suatu parikan yang bersifat sindiran, mempunyai intonasi aa-aa,
atau ab-ab yang mengungkap berbagai kejadian atau peristiwa di masyarakat yang
bersifat aktual. Pada bait pertama
menggambarkan dua orang wanita cantik, tetapi kok gemuk. Biasanya seorang yang
cantik mempunyai perawakan “langsing”
yang akan menambah kecantikan wanita, tetapi bila ia gemuk (lemu) badannya, maka kecantikan itu akan
berkurang.
Bait kedua
merupakan sindiran kepada wanita cantik tetapi jalang, sehingga sering “hilang”
karena banyak orang yang menyenanginya. Tetapi mempunyai isteri yang “jelek”
dalam rumah tangga itu kurang harmonis dan masih banyak cek-cok, yang membuat
kurang harmonisnya dalam rumah tangga. Jadi ada dua hal yang sama-sama tidak
nyaman dan tidak harmonis dalam keluarga, dan digambarkan secara paradok antara
isteri “cantik” dan “jelek”.
Contoh parikan Tari Remo
Wetan banyu kulon yo banyu
Arek nyabrang, gak onok praune.
Sing wetan ayu, sing kulon yo ayu
tak sawang-sawang podo lemune
Numpak prau nang kuto Malang
Numpak getek, menyang Kenjeran
Bojo ayu kok nek sore jik ilang
Bojo elek bosen gegeran
Riyoyo gak nggoreng kopi
Ngedep mejo gak onok jajane
Ojok percoyo cowok saiki
Diajak blonjo mriang awake
Sewek parang klambine ijo
Dipeniteni ndik nduwur dodo
Tiwas nyawang gak dadi bojo
Aluwung mati gak opo-opo
Esuk nyuling sore nyuling
Sing nyuling arek Suroboyo
Esuk eling sore tak eling-eling
Ndadak Jeng Eny ora rumongso
Wetan banyu kulon yo banyu
Arek nyabrang, gak onok praune.
Sing wetan ayu, sing kulon yo ayu
tak sawang-sawang podo lemune
Numpak prau nang kuto Malang
Numpak getek, menyang Kenjeran
Bojo ayu kok nek sore jik ilang
Bojo elek bosen gegeran
Riyoyo gak nggoreng kopi
Ngedep mejo gak onok jajane
Ojok percoyo cowok saiki
Diajak blonjo mriang awake
Sewek parang klambine ijo
Dipeniteni ndik nduwur dodo
Tiwas nyawang gak dadi bojo
Aluwung mati gak opo-opo
Esuk nyuling sore nyuling
Sing nyuling arek Suroboyo
Esuk eling sore tak eling-eling
Ndadak Jeng Eny ora rumongso
Bait ketiga
merupakan gambaran seorang laki-laki yang selalu “jaim” atau jaga image, bila
diajak ke pasar untuk belanja sayur ia selalu beralasan sakit(mriang), alias tidak mau. Tetapi bila di
ajak ke “mall” atau pasar modern maka
sakitnya menjadi hilang. Itulah jaim-nya
cowok-cowok masa kini.
Bait ke
empat menggambarkan seorang laki-laki yang sangat mencintai perempuan cantik,
tetapi ia tak menjadi “pacar” nya atau tidak dapat menjadi isterinya, sehingga
ia berada posisi “cinta bertepuk sebelah tangan”. Dalam posisi demikian ia
patah hati, dan semngatnya menjadi hilang dan tragis, sehingga ia boleh punya
pemikiran lebih baik mati saja.
Pada bait ke
lima, sebagai penutup parikan dalam penggalan tari Remo kedua, adalah
penggambaran dari seorang laki-laki yang mencintai seorang wanita cantik yang
bernama “Eny”, tetapi cintanya itu juga bertepuk sebelah tangan, artnya bahwa
cintanya itu tak digubris oleh Mbak Eny.
Dari
gambaran tersebut diatas, sebetulnya Tari Remo yang menggambarkan perjuangan
seorang Pangeran, ternyata perjuangan itu pada umumnya adalah perjuangan untuk
mempersunting seorang Puteri Keraton, yang tidak dapat digapainya, dan gambaran
perjuangan itu di ekspresikan oleh masyarakat dalam tari Remo yang atraktif
tersebut.
Pada
penggalan ketiga dari keseluruhan tari Remo adalah bagin penutup. Pada tahapan
ini Tari Remo mempunyai disain lantai yang memutar membuat satu lingkatran, dan
diakhiri dengan tarian penutup yang pisis penarinya ada di tengah. Pada saat
inilah gambaran Tari Remo itu merupakan Do’a penutup, untuk berkonsentrasi dan
menutup semua lubang di jasad manusia yang jumlahnya ada 9 lubang yang disebut
sebagai “nutup babagan hawa sanga”,
dan berdoa atas keberhasilan dalam tari Remo tersebut.
Analisis Semiotik Tari Remo
Tari Remo
adalah sebuah “tanda” yang merupakan ekspresi dari jiwa perjuangan cinta yang
diwujudkan dalam kesadaran, yang kesemua peristiwa itu diserahkan kepada Tuhan
yang Maha Pencipta. Buktinya bahwa dalam sajian Tari remo terdiri dari tiga
bagian, yaitu bagian pendahuluan yang merupakan “do’a pemula” yang diringai
dengan gending yang atrakatif, dengan penuh semangat sehingga penari merasa
kelelahan. Penggalan yang kedua sebagai “tanda imbang” iaitu menarik nafas dengan
mengibaskan sampurnya sebagai kipas, untuk mengurangi kegerahan, dan didukung
dengan ekspresi jiwa dalam lagu parikan, yang mengekspresikan “guyonan” yang mampu menghibur kepada
masyarakat umum. Pada penggalan ketiga sebagai “tanda punca” yang menggabarkan
sesembahan kepada Tuhan yang Maha Pencipta.
Tari Remo
sebagai “penanda”, iaitu suatu suguhan awal yang menghantar kesenian “Ludruk”
sebagai drama kerakyatan. Tari Remo sebagai penanda bahwa Luruk itu telah
diawali, dan dibuka dengan Tari Remo. Sehingga tari Remo sebagai penanda
mengawali suatu kesenian Ludruk, yang ceritanya berkisar pada masa perjuangan
merbut kemerdekaan. Cerita rakyat ini memberikan motivasi kepada khalayak bahwa
kemerdekaan itu adalah satu babak Drama Kenegaraan, dengan penuh perjuanagan
lahir dan batin. Perjuangan yang diwujudkan dalam Tari Remo yang terdiri dari
tiga penggalan, merupakan penanda bahwa kegiatan itu mempunyai makna “hablumminannas” yang menunjukkan
hubungan sosial kemasyarakat yang diwujudkan dalam Ludruk perjuangan. Gambaran
dari makna semiotiknya dapat digambarkan dalam garis horisontal. Penanda
berikutnya yaitu bentuk tarian ini dibagi mendai tiga bagian, pada bagian akhir
merupakan tanggungjawab ritual, yang digambarkan sebgai “hablumminallah” yang merupakan hubungan spiritual antara manusia
dengan Tuhan Yang Maha pencipta.
Tari remo
sebagai “petanda”, yaitu yang menandai suatu peristiwa yang bersifat integriti,
yang merupakan sauatu aktivitas yang menyeluruh, dari kehidupan manusia yang
beragam. Khidupan fisik dan kehidupan batinian yang digambarkan dalam “cinta”,
sebagai petanda dari “cinta tanah air”, yaitu memperjuangan kemerdekaan, dan
“cinta sesama” yang diwujudkan dalam mencintai lawan jenis, dan “cinta
spiritual” yang selalu mengingat kepada Tuhan Yang maha Pencipta.
Tari Remo
sebagai “tanda”, sebagai”penanda”, dan sebagai “petanda” merupakan serangkaian
kehidupan manusia, yang berkait erat dengan seni budaya dan rekreasi, yang
dapat dikaitkan dengan berbagai kehidupan sosial yang juga berkait erat dengan
sosial ekonomi, pendidikan masyarakat untuk mencintai nusa dan bangsanya,
berkit erat dengan kehidupan politik dan kebijakan untuk selalu mengembangkan
tarian daerah sebagai kearifan lokal dan sebagai aset negara. Selain itu juga
berkait erat dengan ritual keagamaan, dan berkait erat dengan bahasa. Sebuah
tarian adalah bahasa visual dari tari, dan kidungan adalah bahasa tutur yang
bernilai pendidikan masyarakat yang bersifat faktual.
Penutup
Dari hasil
telaah dan analisis semiotik pada Tari Remo, dapat disimpulkan bahwa kehidupan
manusia itu pada tatarannya dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian awal
(lahir dan dibesarkan), bagian tengah yaitu tahapan remaja, berkeluarga dan
mengembangkan keturunan, ban bagian ketiga adalah masa tua untuk selalu berdoa dan
selalu mengingat keagungan Tuhan Yang Maha Pencipta. Secara horisontal, bahwa
Tari remo sebagai wujud dari “hablumminannas”
yang berkait erat dengan kehidupan antara manusia dengan manusia. Hbungan ini
terwujud dalam konteks sosial kemasyarakatan yang bersifat kompleks. Tari remo
sebagai wujud dari kehidupan ritual keagamaan yang dilambangkan dalam “hablumminallah” yang dapat dimaknai
bahwa sebuah tarian yang selalu diawali dengan doa awal sebagai “basmalah” dan
ditutup dengan wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Pencipta yang dilambangkan
sebagai “hamdallah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar