Tulisan ini di inspirasi dari tuliasn Arif Suharson
dalam seminar nasional Batik di STSI Solo, yang mencoba untuk mengetengahkan
perangkat produk budaya lokal (kearifan lokal). Nama motif hias batik itu di
ciptakan oleh para perajin berdasarkan imajinasi dalaman. Imajinasi itu cukup
di angan-angan, namun pada tataran berikutnya diwujudkan dalam bentuk ragam
hias batik dengan proses pembatikan secara tradisional.
Untuk membabarkan ide pada batik “nithik” di
Yogyakarta, para ilmuwan boleh memaknainya dengan mengkolaborasikan berbagai
ide pemaknaan, sehingga terwujudlah berbagai tulisan tentang makna selembar
kain batik. Batik “nithik” ini diproses dengan menggunakan alat yang bernama “canting
cawang” yang mempunyai bentuk yang unik, tetapi mempunyai fungsi utama dalam
batik tradisional.
Sebelum membahas permasalahan pada batik “nithik”,
dicoba untuk mencari referensi dari berbagai internet dan makalah, sehingga
dapat mengkolaborasikan hasil pemaknaan yang bersifat filosofis.
Dalam pembahasan nanti, secara struktural mengikuti
permasalahan yang sudah baku, yaitu : (1) apa yang dimaksud dengan motif hias “nithik”;
(2) mengapa motif hias nitik menjadi cirikhas pada batik tradisi; (3) siapa
yang mengembangkan motif hias nitik pada batik; (4) bagaimana sejarah dan
perkembangan teknik desainnya; (5) kapan motif hias nitik ini ditemukan.
Untuk mendapatkan gambaran motif hias nitik dalam
prosesnya, juga ditambahkan peralatan tradisional yang berupa canting cawang.
Sebab keberadaan canting tersebut sangat urgen dalam proses pembatikan secara
tradisional.
Pembahasan
Dalam pembahasan yang bersifat filosofis, pandangan
yang digunakan nanti banyak analisis yang bersifat personal, sehingga kita
lebih bebas untuk mendeskripsikannya. Dalam bahasan ini tidak lagi menyebutkan
apa batik itu, karena referensinya cukup banyak. Tetapi juga diperbolehkan
untuk membahas dai segi manapun, sesuai dengan kaidah karya ilmiah.
Canting adalah sebuah alat yang sederhana, dan dibuat
dulunya menggunakan tembaga atau kuningan, yang fungsinya adalah untuk
menampung lilin panas agar tidak mudah menjadi dingin. Bila canting tersebut
dibuat dari aluminium, maka akan terjadi pengentalan lilin panas lebih cepat
daripada kuningan atau tembaga.
Canting mempunyai tiga bagian utama, yaitu : (1)
cucuk, (2) nyamplung, (3) gagang. Ketiga bagian itu mempunyai fungsi yang
berbeda, tetapi secara keseluruhan ketiga bagian ini tak dapat dipisahkannya.
Melalui cucuk itulah akan mengeluarkan lilin panas, yang dapat dipola menjadi
titik-titk, atau garis-garis. Esaran cucuk mempunyai fungsi yang berbeda pula,
bilamana cucuknya agar besar, fungsinya adalah untuk menutup atau mengeblok
pada pola tersebut.Gambar canting adalah seperti berikut ini.
Canting biasnya digunakan untuk menuliskan titik-titk
(cecekan), juga digunakan untuk
menuliskan garis-garis (isen-isen)
dalam memola motif hias batik. Selain itu canting juga digunakan untuk membuat
pola dasar (reng-rengan), dan untuk
menutup motif hias yang dirancang warna putih (nembok).
Nithik dalam bahasa Jawa dapat di panjangkan menjadi “nibo/jatuh”
dan “titik”. Kedua kata tersebut mempunyai makna filosofis yang dalam, sebab
seorang pembatik saat ia akan memulai bekerja biasanya berdoa dulu, dengan kata
“bismillah”, yang artinya menyebut
nama Allah untuk meminta keselamatan dalam proses membatik. Membatik itu
sendiri mempunyai asal kata “ambatik”
yang artinya adalah menulis halus. Tulisan halus itu disebut dalam bahasa Jawa “nyerat” atau menulis. Ambatik mempunyai susunan kata “am”, “ba”, dan “tik”. Am itu berarti saya, ba dapat dipanjangkan dalam bahasa Jawa “niba” atau jatuh, dan tik dapat dipanjangkan menjadi titik.
Seangkaian titik-titik dalam batik yang juga disebut sebagai “cecekan” yang dapat dipadankan dengan “cekatan” atau trampil, dan mungkin juga
dapat dipanjangkan menjadi “cekat-cekatan”
yang artinya mahir.
Jadi “nithik”
dapat dimaknai dalam artian filosofis, yaitu suatu proses membatik yang diawali
dengan berdoa untuk meminta keselamatan dari Allah, dengan melibatkan perasaan
dan ketrampilan yang bagus untuk menghasilkan batik halus. Sebab saat membatik,
seorang perajin sangat hati-hati menuliskan lilin panas melalui canting, dengan
konsentrasi penuh pada satu titik, yaitu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan
doa awal tersebut.
Motif hias nithik,
merupakan ciri khas (karakter) pada batik halusan, yang dikembangkan oleh masyarakat
Jawa, yaitu di wilayah Mojosongo Yogyakarta. Mengapa nithik ini menjadi khas atau karakter, karena pola yang berupa
rengrengan itu ditulis dengan menggunakan titik-titik, sehingga menjadi unik
dan menarik. Pola dasar yang dipilih dalam batik nithik itu umumnya adalah pola geometris, sperti tenun Gedog di
Tuban, Tenun Gringsing di Tenganan Bali. Motif hias tenun yang geometris ini
sangat menarik, sehingga menjadi bahan ide kreatifnya para pengrajin batik di
Yogyakarta ini. Berikut pola dasar dari motif hias nithik, adalah seperti berikut.
Pola dasar garis lingkaran, dan segi empat, pada
prosesnya dikerjakan dengan titik-titik dengan menggunakan canting, sehingga
menghasilkan suatu susunan yang berulang-ulang. Bila itu dikerjakan dengan
menggunakan canting cawang, maka proses pembatikan dengan menggunakan lilin itu
pasti memerlukan waktu yang cukup panjang.
Untuk itu para pengrajin kreatif, canting untuk motif
hias nithik ini sudah dikembangkan
dalam bentuk canting cap, yang dalam prosesnya lebih dipersingkat. Namun
menggunakan teknik canting cap, itu juga memerlukan keahlian tersendiri, sebab
kalu tidak trmapil motif hiasnya bisa melenceng. Canting cawang dengan canting
cap ada perbedaan perkakas yang berbeda juga. Bila pengrajin menggunakan
canting cawang ia cukup dengan gawangan, dan wajan kecil. Tetapi bila membatik
dengan menggunakan canting cap, maka memerlukan perlengkapan seperti meja, alas
untuk mencap, dan juga wajannya dibuat secara khusu, karena ukuran cap itu
cukup besar. Berikut gambar canting cap dan teknik menggunakannya.
Dengan demikian motif hias batik nithik ini dalam
perkembangannya juga telah menggunakan teknologi, karena batik adalah produk
budaya dan juga produk komersial. Untuk dapat memproduksi lebih banyak,
pengrajin juragan mencari celah untuk kreatif dan menciptakan motif baru dengan
menggunakan canting cap. Perlu diketahui, bahwa batik tulis tradisional dengan
menggunakan canting cawang juga tetap mendapatkan pasaran dan pelanggan,
walaupun mendapat persaingan dari batik nithik
cap.
Bila dicari sesiapa yang berperan dalam pengembangan
batik nithik di Yogyakarta, perlu juga ditelusuri asal muasal batik yang
dikembagkan oleh masyarakat Majapahit dan sebelumnya, karena para seniman Arca,
mereka sudah menggambarkan pakaian (kain panjang) yang dipakai oleh isteri raja
di Singosari, yaitu Ken Dedes, sudah menggunakan motif hias batik. Apakah
seniman patung yang menciptakan motif hias batik, ataukah pengrajin pakaian
yang tempo dulu telah menghias kain tenun dengan motif hias batik, itu dapat
ditelusuri dari sejarah visual (arca-arca) peninggalan sejarah.
Ada penulis yang menuliskan bahwa batik nithik itu dikembangkan oleh saudagar
batik di Yogyakarta baru tahun 1950-an. Hal tersebut dapat diterima akal, sebab
pada saat itu kemampuan menenun masyarakat dengan ATBM tumbuh dimana-mana, dan
hasil tenunya baru kain mori mutih yang belum ada hiasannya. Dengan pertumbuhan
ekonomi yang bagus, batik klasik di tahun 1950-an memang mempunyai pasar yang
cukup bagus di seluruh tanah air. Pada saat itu batik merupakan barang mewah,
yang dapat digadaikan. Tetapi setelah tahun 1970-an dengan datangnya kain
tetoron, pasar batik menurun drastis. Para pengusaha batik yang kreatif saja
yang mampu bertahan. Untuk itu salah satu bentuk kreasi batik nithik sebagai kreasi juga masih
bertahan sampai sekarang. Apalagi dengan pengakuan dunia bahwa batik adalah
kebudayaan non benda yang berasal dari Indonesia, keberadaan batik makin
diperhitungkan lagi.
Wastra batik dari Museum tekstil Jakarta, Batik motif Nithik yang dibuat oleh pengrajin di
sentra batik Kembangsongo, merupakan salah satu motif kekayaan batik Bantul,
yang mendukung kegiatan ekonomi kreatif masyarakatnya. Sentra batik tulis
Nitik Kembangsongo yang terletak di Desa Trimulyo, Jetis, Bantul yang memiliki
ciri khas motif batik yang disebut batik Nithik atau Nitik. Motif ini
terdiri dari unsur titik-titik besar dan kecil membentuk suatu pola-pola
geometris, bentuk- bentuk bunga, daun, sulur, dan garis-garis panjang.
Motif batik Nitik ini sekarang dipandang oleh konsumen
batik tulis terkesan monoton dan miskin inovasi bentuk dan hasil pewarnaan yang hanya berwarna
biru wedel sogan coklat. Keunikan yang dimiliki oleh sentra batik Kembangsongo
dan ini tidak dimiliki oleh sentra batik tulis dimanapun adalah dengan
membuat canting cawang. Canting ini sebenarnya canting yang digunakan untuk
membatik tulis yaitu canting klowongan/rengrengan (di unduh 28 Sep.2016).
Penutup
Tulisan ini sengaja tidak disimpulkan, biarlah pembaca
ikut berpikir kreatif dan apresiatif untuk membuat kesimpulan sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar