Saat ini masyarakat lebih
gandrung lagi pada “batik”. Tempo dulu orang yang membatik itu adalah ibu-ibu
yang sudah tua, dan kulitnya keriput, rambutnya dibiarkan tak disisir, dan
sudah mulai memutih. Tetapi wajahnya ceria, dan penuh semangat. Lantas apa yang
ada dibalik sosok pembatik yang demikian itu? Barangkali membatik tak sekadar
menorehkan lilin panas pada selembar kain mori dengan menggunakan canting,
tetapi ada rasa, ada zikir, ada konsentarsi, walaupun dilakukan di saat-saat
waktu senggang. Tetapi kini di setiap daerah terutama di Jawa, setiap daerah
Kabupaten dan Kota mempunyai batik yang merupakan ciri khas daerah, yang
akhirnya menjadi pakaian seragam bagi pegawai pemerintah daerah tersebut.
Selain itu, setiap daerah sudah mempunyai batik andalan, yang mencitrakan
daerahnya, mulai batik yang bersifat tradisi maupun yang sudah dikembangkan.
Ada beberapa daerah yang menjadikannya “batik” sebagai sarana upacara, seperti
batik ”gringsing” yang ada di daerah Tenganan Bali.
Ada beberapa nama-nama yang
sempat tercatat untuk batik yang khas daerah, seperti batik Bledak Sembagen di
Pacitan, sebagai perwujudan batik yang digali dari pemikiran masyarakat yang
tumbuh dari akar rumput. Batik Bledak Sembagen dengan warna coklat kehitaman,
yang dapat ditemuai di Pasar rakyat di Slorok Pacitan. Batik ini tak pernah di
tengok oleh masyarakat luas, karena di produksi oleh pengrajin kecil, dan murah
harganya. Membatik bagi perajin kecil ibarat mencari sesuap nasi dengan
mengandalkan ketrampilan yang bersifat turun-temurun. Uniknya batik ini
mempunyai motif pokok berupa: (a) umbi-umbian; (b) dedaunan; (c) tumbuhan yang
menjalar. Ketiga motif hias merupakan wujud ekspresi identitas bagi masyarakat
dalam mengekspresikan kearifan daerah setempat sebagai wujud kebudayaan lokal.
Ada lagi batik yang tumbuh
dan mengawali batik “gedok Tuban”. Batik gedok ini pada awalnya menunjuk pada
proses pembuatan kain baik yang ditenun oleh masyarakat dengan ATBM (alat tenun
mukan mesin) yang selalu menghasilkan suara “dok-dok-dok”. Dari hasil tenunan
itulah menjadi bahan dasar untuk pembuatan batik gedok di Tuban, dan
menghasilkan batik-batik kuno, dengan warna hitam dan putih. Kearifan lokal ini
telah bergeser dikarenakan keperluan akan sandang sudah semakin semarak,
sehingga kain gedok itupun sudah tidak diperoduksi lagi. Mestinya ATBM ini
sebagai museum dan aset wisata di Tuban. Batik Gedok Tuban dengan motif hias
Cukem, motif hias Satriyan, motif hias Kijing Miring, motif hias Krompol, motif
hias Wal-awil, dan motif hias Grinsing sudah tak lagi nampak di pasaran, karena
motif-motif ini sudah langka. Mestinya motif hias tersebut sebagai aset yang
mengesankan bagi pedagang untuk direvitalisasi menjadi batik dasar.
Saat ini di Kabupaten Magetan
di buat batik “pring sedapur” yang merupakan batik khas Magetan dan menjadi
ikon yang populer. Mengapa memilih nama “pring sedapur” tentu saja itu semua
berdasarkan pada kebudayaan lokal, yang merupakan suatu kearifan daerah
setempat. Walaupun Magetan sudah tak banyak tanaman pring apus yang lebat,
tetapi Magetan mampu mendatangkan pring apus dari daerah lain sebagai bahan
baku untuk kerajinan ”caping”. Bahan baku ini sangat membantu pengajin anyaman
bambu di Magetan yang jumlahnya mencapai lebih dari 900 orang pengrajin. Dengan
demikian motif batik “Pring Sedapur”menjadi ikon bagi Kabupaten Magetan.
Ada lagi batik di Lamongan
peninggalan Raden Rahmad, dengan nama “Byuurr” yang sangat filosofis, dan
teknik membatiknya masih seperti batik Gedok Tuban pada masa awalnya. Batik ini
sudah tidak muncul lagi, karena peminatnya tidak ada. Namun demikian batik ini
mempunyai makna simbolik yang dalam dan nilai estetik yang terpadu sifatnya.
Makna
Simbolik “Batik”
Dari namanya saja “batik”,
mempunyai makna simbolik yang ganda, diantaranya : (a) serba titik (sarwo titik); (b) tibo nitik; (c) batik=nyerat. Makna simbolik adalah suatu
kesepakatan atau konvensi, tetapi juga makna simbolik adalah sebuah analisis.
Bila dikaitkan dengan proses dan “kirata
basa” dari asal kata batik, yaitu serba titik, dapat dimaknai sebagai
dasaran atau tanahan. Setiap batik mempunyai motif hias sebagai pengisi
(iasen-isen), yang mempunyai makna menambah indahnya batik. Batik Gedok Tuban
dengan nama-nama seperti “cukem” dan
“satriyan” semuanya hanya titik-titik dan titik-titik itu berwarna hitam.
Berkaitan dengan proses pewarnaan batik yang titik-titiknya berwarna hitam
adalah menunjukkan teknik setelah proses “panembokan”,
yaitu suatu proses menutup bagian-bagian yang kosong diantara motif hias pokok
dan motif hias tambahan. Titik hitam dicapai dengan menusuk-nusuk bagian yang
sudah ditutup dengan lilin dengan menggunakan duri dari tanaman jeruk. Sehingga
menghasilkan serapan warna pada lubang-lubang hasil tusukan itu.
Berbeda dengan “tibo nitik” yang artinya memberikan
titik-titik pada bidang yang kosong diantara motif hias batik dengan cara
meneteskan lilin dengan menggunakan canting, dan tetesan itu mempunyai durasi
yang sama dan ukuran yang sama. Proses ini memerlukan suatu konsentrasi sambil
berzikir kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Do’a seorang pengrajin batik adalah
“diberi kemudahan, dan kelancaran dalam membatik, diberikan keselamatan sampai
hasil batik itu selesai”. Doa tersebut diucapkan diawal membatik karena
pengrajin batik bekerja dengan api dan lilin panas. Dengan demikian batik
adalah satu strategi untuk melakukan “konsentrasi” dan juga “kontempalsi” agar
ekspresi membatik itu menghasilkan suatu karya yang disenangi oleh masyarakat
banyak (orang ramai).
Perkembangan dari serba titik
dalam batik di tempo dulu, pada perkembangannya titik-titik itu menjadi
garis-garis kontur dari pada motif hias. Motif hias dalam bahasa Inggeris
disebut “ornament” , dan juga sebagai
unsur batik. Motif hias pokok akan ditempatkan sebagai bagian yang pokok, dan
di sela-selanya dibuat motif hias tambahan, sedangkan bila masih ada ruang pada
satu lembar kain batik di isi motif hias isen-isen termasuk titik-titik.
Sehingga terjadilah kumpulan dari berbagai motif hias yang menjadi satu bagian
(kumpulan) disebut sebagai “ragam hias” (ornaments),
yang menjadi satu “pola” (pattern).
Pola inilah yang menjadi satu kesatuan utuh dari sebagian batik, karena pola
ini boleh disambung-sambung dan menjadi batik yang berukuran 250 cm dan lebar
115 cm. Dengan demikian membatik melalui tahapan proses yang sangat rumit, dan
dengan perkembangan teknologi ini yang namanya “batik tulis” mempunyai
penghargaan yang berbeda bila dibandingkan dengan “batk cap”. Batik cap ini
adalah suatu sistem membuat stampel (cop), yang isinya adalah satu pola batik.
Dengan perkembangan teknologi, batik akhirnya dicetak dengan printing (cetak
saring)/sablon, menghasilkan batik printing. Sistem printing ini bila
menggunakan mesin modern namanya menjadi “kain bermotif batik”. Jadi ada
beberapa nama batik, yaitu: (a) batik tulis, (b) batik cap; (c) batik printing;
dan (d) kain bermotif batik. Masyarakat umum tidak dapat membedakan berbagai
proses batik, yang mereka ketahui pada umumnya adalah “pakain batik”.
Fungsi
Batik
Secara umum batik digunakan
untuk “pakian”. Ada beberapa model dan jenis pakaian bila di tinjau dari
fungsinya, misalnya batik untuk pakaian wanita yang disebut “jarit/jarik”, ada juga “sarong batik”,
“selendang batik”, ada juga “iket batik”, yang fungsi dan penempatannya juga berbeda-beda.
Secara tradisional fungsi batik itu dapat dikelompokkan pada empat hal, yaitu :
(a) batik untuk menerima bayi lahir; (b) batik untuk pakaian temanten; (c)
batik untuk keranda orang yang meninggal dunia; dan (d) batik untuk pakaian
umum.
Dari berbagai fungsi
penggunaan batik, secara analitis batik juga berfungsi sebagai “kekerabatan”,
yang artinya pada saat-saat keluarga mempunyai hajatan, maka batik akan dipakai
oleh keluarga dan teman yang datang pada acara hajatan tersebut. Saat
melaksanakan pernikahan, para sanak-kadang (kerabat keluarga) pada umumnya
menggunakan batik sebagai pakaian resmi yang digunakan pada acara tersebut.
Dengan demikian batik berfungsi sebagai kekerabatan.
Batik juga mempunyai fungsi
sosial ekonomi, karena batik berkait erat dengan proses pembuatan yang
memerlukan tenaga kerja yang diberi upah/gaji, berkait erat juga dengan proses
jual-beli di masyarakat. Bahan batik dan hasil batik merupakan aset dalam
sistem ekonomi. Bahkan pada perkembangannya tidak hanya batik secara fisik yang
difungsikan sebagai sosial ekonomi, tetapi “desain” batik mempunyai peran yang
sangat penting dalam percaturan sosial ekonomi di masyarakat. Pada setiap
perkembangan keperluan terhadap batik, desain batik disesuaikan dengan
keperluan perkembangan zaman, perkembangan keperluan desain untuk remaja, untuk
anak-anak, dan juga untuk lembaga (sekolah dan juga seragam PNS). Batik
diperlukan oleh masyarakat, maka perajin batik akan menyediakan dan memproduksinya sesuai permintaan
tersebut. Sehingga ada keselarasan antara penyedia dan pembeli.
Batik juga berkait erat
dengan fungsi pendidikan. Batik menjadi salah satu mata ajar dalam pembelajaran
seni budaya di sekolah, dan bahkan menjadi bahagian khusus dari mata kuliah
pada Institut tekstil. Saat ini dalam kurikulum 2006 (KTSP) batik merupakan
bahan ajar yang dapat diajarkan mulai dari sekolah dasar sampai di tingkat
sekolah lanjutan. Selain itu batik sebagai media pembelajaran non formal, yaitu
pendidikan batik yang berlangsung di masyarakat dengan sistem “cantrik”. Artinya masyarakat belajar
membatik dari keluarganya, atau teman dekatnya, dan belajar membatik dari para
pengrajin batik. Awal mulanya ia ditugasi untuk memindah pola, pada
perkembangannya ditugasi untuk mempola batik dengan lilin, dan memberi warna,
serta proses pelorotan lilin, itu semua sebagai pengetahuan yang dikaji dari
lapangan secara langsung, tanpa menggunakan teori yang rumit. Pembelajaran
batik di masyarakat dapat dilakukan pada waktu yang pendek, dapat melalui
kursus, dan juga dapat belajar langsung kepada pengrajin batik yang
berpengalaman.
Batik juga mempunyai fungsi
sebagai ritual dan keagamaan. Secara khusus di daerah tertentu, batik merupakan
wahana untuk ritual bagai agama di Desa Tenganan bali. Desa ini terletak di
kawasan Bali Timur dekat dengan Gowa Lawa, yang mempunyai penduduk sekitar 500
orang lebih. Mereka menamakan sebagai Baliaga (penduduk Bali asal) yang
menganut agama Surya, dan berbeda dengan agama Hindu Bali. Salah satu sarana
beribadatnya adalah membatik yang memerlukan waktu yang lama, karena
bahan-bahan seluruhnya ada di desa tersebut. Ada tanaman Kapas sebagai bahan
menenun, dan kain tenunan itu dijadikan batik dengan pewarna alam yang berdada
di desa tersebut. Batik Tenganan ini disebut sebagai Batik Grinsing, yang
mempunyai makna sebagai “tolak bala”. Proses ini adalah suatu persembahan
kepada Sang Hyang Surya agar penduduk di lindungi dan di selamatatkan. Kata
gringsing merupakan patahan kata : Gring (gering) dan Sing (tidak). Maknanya
adalah tidak sakit alias sehat selalu. Pada masyarakat Islam batik juga sebagai
sarana beribadat, yaitu sebagai sarong untuk menutup aurat bagi laki-laki atau
perempuan. Tempo dulu sarong batik itu menjadi kebanggaan masyarakat, namun
sekarang sarong sudah dikalahkan dengan tenunan dan kain bermotif tenunan.
Terlebih lagi bila ada upacara keagamaam, seperti hari raya Idul Fitri, Idul
A’da, dan Maulud Nabi Muhammad, warga pesantren tempo dulu memakai sarong
batik.
Masih ada fungsi lain yang
ada pada batik, iaitu sebagai fungsi “politik”. Batik sebagai produk
kebudayaan, tentu berkait erat dengan politik. Saat ini motif batik
beramai-ramai untuk di-patent-kan, karena masyarakat disadarkan oleh Malaysia
untuk mematenkan motif batiknya. Hak patent adalah politik ekonomi global. Motif
hias batik adalah aset bagi pengajin batik, sehingga dapat di klaim bahwa itu
adalah batiknya. Misalnya batik Gajah Oling Banyuwangi, bahwa motif hias ini
menjadi khas batik Banyuwangi, yang diawali dengan Bledak Gajah Oling, dan
dikembangkan menjadi batik untuk masyarakat dengan khas motif Gajah Oling. Hal
ini di ikuti oleh pemerintah daerah lain, sehingga mereka mengklaim sebagai
batik yang khas. Contoh lain adalah Batik Malangan sebagai seragam pakaian bagi
PNS di Kota Malang untuk pakaian Jas, dan juga untuk pakaian keseharian pada
hari-hari tertentu. Sehingga batik ini tidak lagi di jual dipasaran, tetapi
hanya untuk pakaian seragam bagi pegawai di Kota Malang.
Penutup
Memaknai batik menjadi unik,
karena batik tumbuh di daerah didasari oleh kebudayaan daerah masing-masing.
Setiap batik tradisi merupakan bagian dari kebudayaan lokal yang merupakan
suatu kearifan daerah, dimana setiap daerah di Indonesia mempunyai kerafian
lokal sebagai local genius. Masih ada bahasan berikutnya, yaitu Nilai Estetik
yang ada pada batik, yang dapat diurai menjadi intra estetik dan ekstra estetik
yang berkait erat dengan kosmologi Jawa (Kiblat Papat Lima Pancer) dan berkait
erat dengan peri kehidupan lingkungan (tri hita karana).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar