Sementara
banyak orang beranggapan bahwa ketrampilan kerajinan itu mempunyai nilai seni
yang difokuskan pada kompetensi fungsi. Nilai kekriyaan itu hanya bersifat
“tukang” yang hanya mengerjakan sesuatu yang bersifat “trampil”. Pandangan Prof. Dr. I Made Bandem (2002) kata “kriya” dalam bahasa
indonesia berarti pekerjaan (ketrampilan tangan). Di dalam bahasa Inggris
disebut craft berarti energi atau kekuatan. Pada
kenyataannya bahwa seni kriya sering dimaksudkan sebagai karya yang dihasilkan
karena skill atau ketrampilan seseorang. Pengkriya atau pengrajin, mereka pada
umumnya mempunyai tingkat ketrampilan yang mahir, dan tingkat kemahiran yang
menjadi energi dalaman itu membuahkan hasil seni kriya yang bernilai tinggi.
Kekuatan untuk menghasilkan karya seni kriya yang bernilai tinggi itu merupakan
kekuatan ungkapan pengalaman yang digelutinya selama ber tahun-tahun, sehingga
apa yang ditekuninya tersebut merupakan energi dari nalar melalui tangan-tangan
terampilnya, yang mampu menghasilkan karya yang unik dan menarik. Denis Lombard
dalam bukunya Nusa Jawa: Silang budaya, menyatakan ‘istilah kriya yang diambil
dari kryan menunjukkan pada hierarki strata pada masa kerajaan Majapahit,
sebagai berikut; “Pertama-tama terdapat para mantri, atau pejabat tinggi serta
para arya atau kaum bangsawan, lalu para kryan yang berstatus kesatriya dan
para wali atau perwira, yang tampaknya juga merupakan semacam golongan
bangsawan rendah’.
Hal ini akan sangat berbeda dengan “ekspresi kretaif” yang
dimiliki oleh seorang pelukis. Seorang pelukis yang mempunyai jam terbang yang
cukup, sehingga kapasitas ekspresi itu menjadi kekuatan yang disebutnya
kreatif. Dan bila dua kata tersebut digabung menjadi satu kata, yaitu “ekspresi
kreatif” akan menghasilkan kekuatan ekspresi yang bersifat kristal, dengan
sadar tentang kompisisi yang merupakan kekuatan yang menjadi kesatuan artistik.
Ekspresi kreatif merupakan upaya untuk “mencari dan menemukan” pada suatu
tataran pengindraan kepada ranah dalam, sehingga pencarian dan penemuan itu
menghasilkan sesuatu yang bernilai artistik dan estetik.
Sosio Psikologis Proses Berkarya Seni Kriya
Proses berkarya dalam aktiviti menghasilkan seni kriya adalah
merupakan suatu tahapan penyiapan mental untuk menghasilkan karya seni kriya. Berkenaan
dengan obyek psikologi ini, maka yang paling mungkin untuk diamati dan dikaji
adalah manifestasi dari jiwa itu sendiri yakni dalam bentuk perilaku individu
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, psikologi kiranya
dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Berinteraksi dengan lingkungan sosial
masyarakat dan kebudayaan yang dapat memberikan andil dalam proses kematangan
sikologis seseorang. Dalam proses pematangan diri mempunyai makna belajar dari
yang sederhana menjadi yang lebih kompleks.
Pada
kondisi ini pengrajin telah mempunyai pengalaman yang bersifat rutin tentang
penyiapan bahan, ukuran, baha baku, bahan pendukung sampai bahan untuk
menuntaskan karya akhir. Bahan-bahan yang bersifat material tersebut sangat
dikenalinya dengan seksama, sehingga menghasilkan mutu yang diinginkannya.
Dalam proses berkarya tersebut pengrajin dibantu oleh alat-alat penunjang
proses kerja, seperti mesin dan peralatan bukan mesin (manual). Dengan kesiapan mental, kesiapan bahan, dan kesiapan alat
penunjang tersebut para pengrajin mampu memproduksi karya lebih dari satu buah,
dengan kategori bentuk dan struktur yang sama. Dengan didukung oleh kemampuan
ketrampilan yang tinggi, maka proses berkarya ini dapat berjalan dengan mulus.Dengan
demikian kompetensi sosio psikologis dalam proses berkarya bagi pengrajin ahli,
mempunyai skor yang optimal.
Kompetensi Bagan Pengrajin
Pada ranah pendidikan, ketrampilan ahli ini dapat ditularkan
melalui pecantrikan. Alih teknologi bagi pengrajin ahli kepada generasi
berikutnya adalah melalui “pecantrikan” yang bersifat bertingkat. Didalam
proses produksi seni kriya di berbagai daerah, seperti yang diungkap oleh Denis
Lombard di berbagai daerah seperti di Bali dan Jogyakarta, dua daerah ini
mempunyai karakter pecantrikan yang berbeda. Pengrajin Patung kayu di Bali itu
pada umumnya para pengrajin dapat dikategorikan sebagai “tukang”. Karena di Bali
produksi patung dibuat secara massal, karena permintaan pasar yang sangat
banyak. Sebagai contoh patung kayu “bebek atau itik”. Penyiapan bahan baku
untuk membuat patung kayu tersebut sudah di siapkan oleh pengusaha, dengan
jenis kayu yang dipilih, dan tingkat kekeringan pada kayu tersebut. Pada
umumnya kayu yang disiapkan adalah jenis kayu “cangkring”, dan itu telah
disiapkan oleh pengusaha. Keperluannya cukup bayak mencapai ratusan meter
kubik setiap harinya.
Proses
produksi yang beranting dan berkelanjutan itu dimulai dari penyiapan bahan
baku, pemotongan kayu sesuai dengan ukuran, dan pembuatan bentul global yang
telah disiapkan oleh ahlinya. Pada tahapan berikutnya adalah pembuatan patung
yang bersifat kasar, yang dikerjakan oleh pengrajin yang berbeda dari pengrajin
sebelumnya, yaitu membentuk patung itik sesuai dengan ukuran, dan setelah itu
diserahkan kepada para pengrajin patung itik yang membuat bentuk detail dari
patung itik dalam bentuk yang masih kasar. Setelah selesai hasilnya dierahkan
kepada pengrajin pengahalus yang banyak dilakukan oleh para pengrajin wanita.
Begitu juga pengrajin batik di Solo dan Jogyakarta. Para perajin
ahli itu terletak pada proses penulisan denga menggunakan canting pada motif
batik yang telah dibuat oleh para pengrajin motif batik. Para pengarjin motif
batik setiap hari akan merancang motif dengan beragam motif hias sebagai pola
batik, dan motif hias batik tersebut diserahkan kepada pengrajin lain untuk
dipindahkan pada kain mori yang akan di batik. Para pengrajin batik canting
tulis, akan menggambar batik sesuai dengan pola motif hasi yang sudah ada.
Pasca pemberian motif canting, berikutnya adalah proses pewarnaan batik yang
dilakukan oleh para pengrajin pemberi warna batik. Pada proses berikutnya
penghilangan lilin batik (nglorot)
yang juga dikerjakan oleh perajin yang lainnya.
Nah, kompetensi bagan berarti bahwa para pengrajian melakukan
aktiviti bagain demi bagian ini disebut sebagai kompetensi bagan, dan hal ini
yang disebut sebagai “tukang” yang mana mereka hanya mempunyai keahlian pada
bgian-bagian tertentu. Pada kompetensi bagan ini pengrajin sebagai unsur atau
bagian dari proses pecantrikan secara menyeluruh. Artinya terjadi proses sosial
berkarya, dari yang sederhana sampai yang kompleks dikerjakan banyak orang,
yang merupakan hubungan sosial yang berpengaruh dalam perilaku proses berkarya.
Kopetensi Sosio Educatif
Kopetensi sosio educatif dapat berlaku di sekolah formal dan
juga di masyarakat. Kompetensi sosio edukasi ini diuraikan pada tataran
pembelajaran di sekolah, dan dipilih pada tingkat Sekolah Lanjutan Atas (SLTA).
Ada dua hal yang diungkap pada kopentensi sosio educatif di tingkat SLTA ini,
yaitu proses berkarya seni kriya pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan
Sekolah Mengah Atas (SMA) umum, yang keduanya mempunyai kondisi sosio educatif
yang berbeda. Siswa SMK memang dituntut untuk berkarya secara profesional, dan
di dukung oleh laboratorium dan peralatan penunjang yang memadai. Pada siswa
SMK di bidang kerajinan kayu akan menghasil produk-produk yang sesuai dengan
kapasitas laku dijual (marketable).
Sehingga hasil produknya betul-betul layak jual, seperti contoh berikut ini.
Dua karya tersebut dari sisi hasil memang dianggap hasil karya
yang final, dengan tingkat kehalusan dan kekuatannya telah diperhitungkan
secara jeli. Para pembimbing (guru) mempunyai tugas sebagai kontrol kualitas (Quality Control), dan memberikan
persepsi kepada siswa untuk berkarya final yang layak jual. Hal ini di dukung
oleh laboratorium dan peralatan penunjang yang sesuai dengan kompetensinya.
Hal ini sangat berbeda dengan karya kriya di tingakat SMA, yang
notabene bersifap parsial, karena merupakan bagian kecil dari materi ajar dalam
bidang studi seni budaya. Kalau di SMK prodi kriya kayu, kurikulumnya menuntut
pada kompetensi khusus, sedangkan kurikulum bidang studi seni budaya merupakan
bagian kecil saja. Dari bentuk dan model kurikulumnya memang sudah berbeda.
Seni kriya di SMA itu sangat tergantung pada kreativitas Guru yang mempunyai
atensi dan perhatian pada seni kriya. Pada umumnya Guru Seni Budaya di SMA
kurang memperhatikan kegiatan seni kriya, karena pengaruh lingkungan dan
kurikulum yang terbatas. Hal tersebut juga ditujang oleh tidak ada laboratorium
yang khusus untuk seni kriya di tingkat SMA. Berikut contoh seni kriya siswa
SMA dalam aktivitas lomba.
Kompetensi educatif di masyarakat berlaku proses pembelajaran
secara mandiri, dan juga berlaku dalam proses pecantrikan. Bila seseorang ingin
belajar ketrampilan dalam proses berkarya seni kriya, ia akan mencari empu atau
pengrajin mahir, yang dahulu disebut sebagai “mantri”. Hal ini boleh diambil
contoh dalam dunia kesehatan, bahwa mantri kesehatan adalah orang yang
mempunyai keahlian mengobati secara praktis dan tak berbelit-belit. Masyarakat
mempercayai mantri kesehatan itu lebih “ces
pleng” daripada dokter. Dengan pemikiran praktis tersebut maka penyebutan
mantri adalah orang yang mampu memberikan ketrampilan yang mahir dan ditularkan
kepada cantriknya secara bertahap dan berkelanjutan. Berikut ini contoh hasil
kriya yang dihasilkan oleh perajin (masyarakat ahli) di bidang kriya anyaman.
Dengan demikian kopetensi sosio educatif itu berlangsung di
pendidikan formal dan juga pendidikan non formal. Kopetensi sosio educatif
mempunyai makna bahwa proses belajar menuju kapasitas mahir atau ahli akan
memerlukan waktu yang berbeda antara di sekolah formal dan non formal. Di
sekolah formal dengan kurikulum yang majemuk mempunyai kurun waktu yang lebih
lama bila dibandingkan dengan proses kapasitas mahir di pendidikan non formal.
Mahir dalam permasalahan teknik, akan berbeda dengan mahir dalam kapasitas kreatif.
Kopetensi Kreatifiti dalam Lomba
Seni kriya dalam proses lomba, khusus untuk siswa SMA, mempunyai
berbagai kreativitas yang muncul adalah pengembangan model yang di bina oleh
Guru Seni Budaya di sekolah tersebut. Minat guru dalam memberikan materi
kegiatan seni kriya sesuai dengan Kurikulum yang berjalan, mempunyai porsi yang
sangat terbatas. Untuk itu perlu kiranya diulas dengan persepsi lomba.
Kopetensi kreativitas muncul dengan berbagai media, diantaranya dari kertas
koran, kulit telur, bambu, tempurung, plastik, semuanya di ekplor oleh peserta
lomba. Lomba seni kriya tahun 2016 di tingkat propinsi Jawa Timur memunculkan
beberapa proyek yang bernuansa kopetensi kreativitas. Berbagai model “jam
penunjuk waktu”, muncuk dengan berbagai viasi dan model, seperti gambar berikut
ini.
Pada umumnya proyek ini tidak dibarengi dengan teknik produksi
yang betul-betul sahih dan layak jual. Kopetensi kreativitas muncul dari
berbagai bahan, model dan motif, itu semua belum menunjukkan kualitas produksi
yang prima. Teknik pengerjaan yang kurang kuat, serta sentuhan akhir ( finishing touch) dalam produk ini belum
sempurnya. Kekuatan produksi sangat lemah, sehingga untuk mencapai kopetensi
layak jual, tidak terpenuhi. Hal ini disebabkan pula oleh peralatan penunjang
produksi yang tidak layak juga, sehingga untuk mencapai kulitas produk yang
prima masih belum terpenuhi.
Penutup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar