Minggu, 25 September 2016

ANALISIS SEMIOTIK TARI REMO



Pada tahun-tahun 1960-an Ludruk adalah salah satu media untuk hiburan masyarakat pedesaan, yang sangat akrab. Karena didalamnya ada tarian Remo, ada cerita yang aktual, ada dagelan yang membuat masyarakat tertawa, ada musik Jawa yang khas dengan nada kendang yang menggetarkan, dan ada peran wanita yang dilakukan oleh laki-laki. Masih ada lagi yaitu tata panggung yang dibahagian belakang itu ada kelir (dekorasi panggung dalam bentuk gambar), yang kesemuanya itu sangat diapresiasi oleh masyarakat.
Pada saat itu kakak kandung saya, yaitu Isdiwanto adalah penari Remo pada kesenian Ludruk yang dikagumi oleh masyarakat pedesaan. Bila tari remo tersebut memulai manggung, maka sang penonton di lapangan itu serentak duduk dan menikmati tari Remo yang atraktif sekali. Tari Remo adalah tari gerak yang dengan pakaian yang sangat khas, iaitu ada “jamang” sebagai penutup kepala, ada selendang atau sampur yang, dan di kakinya ada gongseng yang memberikan nada hentakan yang mengasyikkan. 






Isdiwanto (alm) lahir di Trenggalek, di Desa Ngadirenggo. Pada saat remaja ia berkelana sambil berdagang di Jombang, dan di situlah ia belajar menari Remo pada suatu paguyuban Ludruk. Rupanya Isdiwanto sangat menghayati Tari Remo itu dengan sepenuh hati. Artinya tidak hanya belajar tariannya, tetapi isi dari tarian Remo itu ia kaji secara dalam sampai kepada makna. Beliau pernah bercerita bahwa menari Remo itu ada “mantra” yang diperembahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yaitu persembahan yang diwujudkan dalam awal tarian dan akhir tarian. Saat beliau mengawali menari Remo, mesti melakukan persembahan do’a kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan diwujudkan dalam bentuk menyatukan kedua tangannya dan disentuhkan pada hidungnya. Secara terintegrasi dengan mengawali gerak tarian Remo, dan meneruskan urutan tariannya sampai tuntas, dan pada saat menutup tariannya beliau menjadikan kedua belah tangannya menyatu menyentuh hidung, dan tumit salah satu kakinya di tempatkan pada lubang pantatnya sembari menarik nafas untuk menutup “babagan hawa sanga” untuk paripurna tariannya.


Telaah Kearifan Lokal Tari Remo

Dari referensi yang didapatkan dari internet bahwa Tari Remong (Remong) berasal dari Desa Ceweng Kecamatan Diwek di Kabupaten Jombang. Salah satu tokoh Ludruk dari Jombang yang sangat terkenal adalah Asmuni. Jombang yang sangat dikenal dengan Kota Santri, ternyata menyimpan budaya daerah yang  menjadi Trade mark Jawa Timur. Tari Remo yang awalnya adalah sebagai tari yang digunakan untuk ngamen, pada akhirnya menjadi Tarian Khas Jawa Timur yang digunakan untuk penyambutan Tamu Kenegaraan. Jawa Timur kaya akan tari daerah, yang pada akhirnya adalah tari yang khas, dan menjadi aset negara. Seperti tari Jaranan Buto yang diciptakan oleh seniman dari Trenggalek, yang pada mulanya tari Jaranan Buto ini sebagai Tolak Bala (mengusir kejahatan dan penyakit), pada akhirnya menjadi tari khas daerah sebagai tari yang bersifat Local Genius atau kearifan lokal. Begitu juga salah satu tarian dari Banyuwangi, yaitu tari  Gandrung yang merupakan tarian hiburan rakyat, pada akhirnya menjadi tari khas Jawa timur yang bersifat Local Genius.
Kembali kepada Tari Remo, setelah dilakukan berbagai penelaahan melalui internet, ternyata tari Remo adalah penggambaran dari Tari Perjuangan. Tarian yangmenggambarkan perjuangan seorang Pangeran di medan laga. Sebagai wujud dan penggambaran perjuangan, justru itu pada awal dan akhir dari Tari remo ini ada sesembahan, yang merupakan “do’a” keselamatan dalam medan laga. Tari Remo sebagai pembuka pada drama daerah atau Ludruk, karena Ludruk adalah hiburan rakyat yang sangat digemari oleh masyarakat Jombang, dan masyarakat Jawa Timur.
Tari Remo menggambarkan perjuangan, dan juga sebagai hiburan, yang terdiri dari tiga penggalan, yaitu penggalan pembuka, ngidung dan parikan, dan bagian penutup. Salah satu kekahasan tari Remo adalah kidungan yang merupakan ungakan dalam pantun yang bernada menghibur masyarakat dengan gending yang khas. Salah satu parikan yang di unggah oleh Eny Mamito yang dicuplik dari kidungan Kholik, adalh seperti berikut 

Suatu apresiasi pada suatu parikan yang bersifat sindiran, mempunyai intonasi aa-aa, atau ab-ab yang mengungkap berbagai kejadian atau peristiwa di masyarakat yang bersifat aktual.  Pada bait pertama menggambarkan dua orang wanita cantik, tetapi kok gemuk. Biasanya seorang yang cantik mempunyai perawakan “langsing”  yang akan menambah kecantikan wanita, tetapi bila ia gemuk (lemu) badannya, maka kecantikan itu akan berkurang.
Bait kedua merupakan sindiran kepada wanita cantik tetapi jalang, sehingga sering “hilang” karena banyak orang yang menyenanginya. Tetapi mempunyai isteri yang “jelek” dalam rumah tangga itu kurang harmonis dan masih banyak cek-cok, yang membuat kurang harmonisnya dalam rumah tangga. Jadi ada dua hal yang sama-sama tidak nyaman dan tidak harmonis dalam keluarga, dan digambarkan secara paradok antara isteri “cantik” dan “jelek”.

Contoh parikan Tari Remo

Wetan banyu kulon yo banyu
Arek nyabrang, gak onok praune.
Sing wetan ayu, sing kulon yo ayu
tak sawang-sawang podo lemune

Numpak prau nang kuto Malang
Numpak getek, menyang Kenjeran
Bojo ayu kok nek sore jik ilang
Bojo elek bosen gegeran

Riyoyo gak nggoreng kopi
Ngedep mejo gak onok jajane
Ojok percoyo cowok saiki
Diajak blonjo mriang awake

Sewek parang klambine ijo
Dipeniteni ndik nduwur dodo
Tiwas nyawang gak dadi bojo
Aluwung mati gak opo-opo

Esuk nyuling sore nyuling
Sing nyuling arek Suroboyo
Esuk eling sore tak eling-eling
Ndadak Jeng Eny ora rumongso
 
Bait ketiga merupakan gambaran seorang laki-laki yang selalu “jaim” atau jaga image, bila diajak ke pasar untuk belanja sayur ia selalu beralasan sakit(mriang), alias tidak mau. Tetapi bila di ajak ke “mall” atau pasar modern maka sakitnya menjadi hilang. Itulah jaim-nya cowok-cowok masa kini.
Bait ke empat menggambarkan seorang laki-laki yang sangat mencintai perempuan cantik, tetapi ia tak menjadi “pacar” nya atau tidak dapat menjadi isterinya, sehingga ia berada posisi “cinta bertepuk sebelah tangan”. Dalam posisi demikian ia patah hati, dan semngatnya menjadi hilang dan tragis, sehingga ia boleh punya pemikiran lebih baik mati saja.

Pada bait ke lima, sebagai penutup parikan dalam penggalan tari Remo kedua, adalah penggambaran dari seorang laki-laki yang mencintai seorang wanita cantik yang bernama “Eny”, tetapi cintanya itu juga bertepuk sebelah tangan, artnya bahwa cintanya itu tak digubris oleh Mbak Eny.
Dari gambaran tersebut diatas, sebetulnya Tari Remo yang menggambarkan perjuangan seorang Pangeran, ternyata perjuangan itu pada umumnya adalah perjuangan untuk mempersunting seorang Puteri Keraton, yang tidak dapat digapainya, dan gambaran perjuangan itu di ekspresikan oleh masyarakat dalam tari Remo yang atraktif tersebut.
Pada penggalan ketiga dari keseluruhan tari Remo adalah bagin penutup. Pada tahapan ini Tari Remo mempunyai disain lantai yang memutar membuat satu lingkatran, dan diakhiri dengan tarian penutup yang pisis penarinya ada di tengah. Pada saat inilah gambaran Tari Remo itu merupakan Do’a penutup, untuk berkonsentrasi dan menutup semua lubang di jasad manusia yang jumlahnya ada 9 lubang yang disebut sebagai “nutup babagan hawa sanga”, dan berdoa atas keberhasilan dalam tari Remo tersebut.

Analisis Semiotik Tari Remo

Tari Remo adalah sebuah “tanda” yang merupakan ekspresi dari jiwa perjuangan cinta yang diwujudkan dalam kesadaran, yang kesemua peristiwa itu diserahkan kepada Tuhan yang Maha Pencipta. Buktinya bahwa dalam sajian Tari remo terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan yang merupakan “do’a pemula” yang diringai dengan gending yang atrakatif, dengan penuh semangat sehingga penari merasa kelelahan. Penggalan yang kedua sebagai “tanda imbang” iaitu menarik nafas dengan mengibaskan sampurnya sebagai kipas, untuk mengurangi kegerahan, dan didukung dengan ekspresi jiwa dalam lagu parikan, yang mengekspresikan “guyonan” yang mampu menghibur kepada masyarakat umum. Pada penggalan ketiga sebagai “tanda punca” yang menggabarkan sesembahan kepada Tuhan yang Maha Pencipta.
Tari Remo sebagai “penanda”, iaitu suatu suguhan awal yang menghantar kesenian “Ludruk” sebagai drama kerakyatan. Tari Remo sebagai penanda bahwa Luruk itu telah diawali, dan dibuka dengan Tari Remo. Sehingga tari Remo sebagai penanda mengawali suatu kesenian Ludruk, yang ceritanya berkisar pada masa perjuangan merbut kemerdekaan. Cerita rakyat ini memberikan motivasi kepada khalayak bahwa kemerdekaan itu adalah satu babak Drama Kenegaraan, dengan penuh perjuanagan lahir dan batin. Perjuangan yang diwujudkan dalam Tari Remo yang terdiri dari tiga penggalan, merupakan penanda bahwa kegiatan itu mempunyai makna “hablumminannas” yang menunjukkan hubungan sosial kemasyarakat yang diwujudkan dalam Ludruk perjuangan. Gambaran dari makna semiotiknya dapat digambarkan dalam garis horisontal. Penanda berikutnya yaitu bentuk tarian ini dibagi mendai tiga bagian, pada bagian akhir merupakan tanggungjawab ritual, yang digambarkan sebgai “hablumminallah” yang merupakan hubungan spiritual antara manusia dengan Tuhan Yang Maha pencipta.
Tari remo sebagai “petanda”, yaitu yang menandai suatu peristiwa yang bersifat integriti, yang merupakan sauatu aktivitas yang menyeluruh, dari kehidupan manusia yang beragam. Khidupan fisik dan kehidupan batinian yang digambarkan dalam “cinta”, sebagai petanda dari “cinta tanah air”, yaitu memperjuangan kemerdekaan, dan “cinta sesama” yang diwujudkan dalam mencintai lawan jenis, dan “cinta spiritual” yang selalu mengingat kepada Tuhan Yang maha Pencipta.
Tari Remo sebagai “tanda”, sebagai”penanda”, dan sebagai “petanda” merupakan serangkaian kehidupan manusia, yang berkait erat dengan seni budaya dan rekreasi, yang dapat dikaitkan dengan berbagai kehidupan sosial yang juga berkait erat dengan sosial ekonomi, pendidikan masyarakat untuk mencintai nusa dan bangsanya, berkit erat dengan kehidupan politik dan kebijakan untuk selalu mengembangkan tarian daerah sebagai kearifan lokal dan sebagai aset negara. Selain itu juga berkait erat dengan ritual keagamaan, dan berkait erat dengan bahasa. Sebuah tarian adalah bahasa visual dari tari, dan kidungan adalah bahasa tutur yang bernilai pendidikan masyarakat yang bersifat faktual.

Penutup

Dari hasil telaah dan analisis semiotik pada Tari Remo, dapat disimpulkan bahwa kehidupan manusia itu pada tatarannya dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian awal (lahir dan dibesarkan), bagian tengah yaitu tahapan remaja, berkeluarga dan mengembangkan keturunan, ban bagian ketiga adalah masa tua untuk selalu berdoa dan selalu mengingat keagungan Tuhan Yang Maha Pencipta. Secara horisontal, bahwa Tari remo sebagai wujud dari “hablumminannas” yang berkait erat dengan kehidupan antara manusia dengan manusia. Hbungan ini terwujud dalam konteks sosial kemasyarakatan yang bersifat kompleks. Tari remo sebagai wujud dari kehidupan ritual keagamaan yang dilambangkan dalam “hablumminallah” yang dapat dimaknai bahwa sebuah tarian yang selalu diawali dengan doa awal sebagai “basmalah” dan ditutup dengan wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Pencipta yang dilambangkan sebagai “hamdallah”.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar