Selasa, 27 September 2016

MEMAKNAI NAMA MOTIF HIAS BATIK “NITHIK” DALAM KHASANAH FILOSOFIS



Tulisan ini di inspirasi dari tuliasn Arif Suharson dalam seminar nasional Batik di STSI Solo, yang mencoba untuk mengetengahkan perangkat produk budaya lokal (kearifan lokal). Nama motif hias batik itu di ciptakan oleh para perajin berdasarkan imajinasi dalaman. Imajinasi itu cukup di angan-angan, namun pada tataran berikutnya diwujudkan dalam bentuk ragam hias batik dengan proses pembatikan secara tradisional.
Untuk membabarkan ide pada batik “nithik” di Yogyakarta, para ilmuwan boleh memaknainya dengan mengkolaborasikan berbagai ide pemaknaan, sehingga terwujudlah berbagai tulisan tentang makna selembar kain batik. Batik “nithik” ini diproses dengan menggunakan alat yang bernama “canting cawang” yang mempunyai bentuk yang unik, tetapi mempunyai fungsi utama dalam batik tradisional.
Sebelum membahas permasalahan pada batik “nithik”, dicoba untuk mencari referensi dari berbagai internet dan makalah, sehingga dapat mengkolaborasikan hasil pemaknaan yang bersifat filosofis.
Dalam pembahasan nanti, secara struktural mengikuti permasalahan yang sudah baku, yaitu : (1) apa yang dimaksud dengan motif hias “nithik”; (2) mengapa motif hias nitik menjadi cirikhas pada batik tradisi; (3) siapa yang mengembangkan motif hias nitik pada batik; (4) bagaimana sejarah dan perkembangan teknik desainnya; (5) kapan motif hias nitik ini ditemukan.
Untuk mendapatkan gambaran motif hias nitik dalam prosesnya, juga ditambahkan peralatan tradisional yang berupa canting cawang. Sebab keberadaan canting tersebut sangat urgen dalam proses pembatikan secara tradisional.

Pembahasan

Dalam pembahasan yang bersifat filosofis, pandangan yang digunakan nanti banyak analisis yang bersifat personal, sehingga kita lebih bebas untuk mendeskripsikannya. Dalam bahasan ini tidak lagi menyebutkan apa batik itu, karena referensinya cukup banyak. Tetapi juga diperbolehkan untuk membahas dai segi manapun, sesuai dengan kaidah karya ilmiah.
Canting adalah sebuah alat yang sederhana, dan dibuat dulunya menggunakan tembaga atau kuningan, yang fungsinya adalah untuk menampung lilin panas agar tidak mudah menjadi dingin. Bila canting tersebut dibuat dari aluminium, maka akan terjadi pengentalan lilin panas lebih cepat daripada kuningan atau tembaga.
Canting mempunyai tiga bagian utama, yaitu : (1) cucuk, (2) nyamplung, (3) gagang. Ketiga bagian itu mempunyai fungsi yang berbeda, tetapi secara keseluruhan ketiga bagian ini tak dapat dipisahkannya. Melalui cucuk itulah akan mengeluarkan lilin panas, yang dapat dipola menjadi titik-titk, atau garis-garis. Esaran cucuk mempunyai fungsi yang berbeda pula, bilamana cucuknya agar besar, fungsinya adalah untuk menutup atau mengeblok pada pola tersebut.Gambar canting adalah seperti berikut ini.




 
Canting biasnya digunakan untuk menuliskan titik-titk (cecekan), juga digunakan untuk menuliskan garis-garis (isen-isen) dalam memola motif hias batik. Selain itu canting juga digunakan untuk membuat pola dasar (reng-rengan), dan untuk menutup motif hias yang dirancang warna putih (nembok).
Nithik dalam bahasa Jawa dapat di panjangkan menjadi “nibo/jatuh” dan “titik”. Kedua kata tersebut mempunyai makna filosofis yang dalam, sebab seorang pembatik saat ia akan memulai bekerja biasanya berdoa dulu, dengan kata “bismillah”, yang artinya menyebut nama Allah untuk meminta keselamatan dalam proses membatik. Membatik itu sendiri mempunyai asal kata “ambatik” yang artinya adalah menulis halus. Tulisan halus itu disebut dalam bahasa Jawa “nyerat” atau menulis. Ambatik mempunyai susunan kata “am”, “ba”, dan “tik”. Am itu berarti saya, ba dapat dipanjangkan dalam bahasa Jawa “niba” atau jatuh, dan tik dapat dipanjangkan menjadi titik. Seangkaian titik-titik dalam batik yang juga disebut sebagai “cecekan” yang dapat dipadankan dengan “cekatan” atau trampil, dan mungkin juga dapat dipanjangkan menjadi “cekat-cekatan” yang artinya mahir.
Jadi “nithik” dapat dimaknai dalam artian filosofis, yaitu suatu proses membatik yang diawali dengan berdoa untuk meminta keselamatan dari Allah, dengan melibatkan perasaan dan ketrampilan yang bagus untuk menghasilkan batik halus. Sebab saat membatik, seorang perajin sangat hati-hati menuliskan lilin panas melalui canting, dengan konsentrasi penuh pada satu titik, yaitu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan doa awal tersebut.
Motif hias nithik, merupakan ciri khas (karakter) pada batik halusan, yang dikembangkan oleh masyarakat Jawa, yaitu di wilayah Mojosongo Yogyakarta. Mengapa nithik ini menjadi khas atau karakter, karena pola yang berupa rengrengan itu ditulis dengan menggunakan titik-titik, sehingga menjadi unik dan menarik. Pola dasar yang dipilih dalam batik nithik itu umumnya adalah pola geometris, sperti tenun Gedog di Tuban, Tenun Gringsing di Tenganan Bali. Motif hias tenun yang geometris ini sangat menarik, sehingga menjadi bahan ide kreatifnya para pengrajin batik di Yogyakarta ini. Berikut pola dasar dari motif hias nithik, adalah seperti berikut.







Pola dasar garis lingkaran, dan segi empat, pada prosesnya dikerjakan dengan titik-titik dengan menggunakan canting, sehingga menghasilkan suatu susunan yang berulang-ulang. Bila itu dikerjakan dengan menggunakan canting cawang, maka proses pembatikan dengan menggunakan lilin itu pasti memerlukan waktu yang cukup panjang.
Untuk itu para pengrajin kreatif, canting untuk motif hias nithik ini sudah dikembangkan dalam bentuk canting cap, yang dalam prosesnya lebih dipersingkat. Namun menggunakan teknik canting cap, itu juga memerlukan keahlian tersendiri, sebab kalu tidak trmapil motif hiasnya bisa melenceng. Canting cawang dengan canting cap ada perbedaan perkakas yang berbeda juga. Bila pengrajin menggunakan canting cawang ia cukup dengan gawangan, dan wajan kecil. Tetapi bila membatik dengan menggunakan canting cap, maka memerlukan perlengkapan seperti meja, alas untuk mencap, dan juga wajannya dibuat secara khusu, karena ukuran cap itu cukup besar. Berikut gambar canting cap dan teknik menggunakannya.





 
Dengan demikian motif hias batik nithik ini dalam perkembangannya juga telah menggunakan teknologi, karena batik adalah produk budaya dan juga produk komersial. Untuk dapat memproduksi lebih banyak, pengrajin juragan mencari celah untuk kreatif dan menciptakan motif baru dengan menggunakan canting cap. Perlu diketahui, bahwa batik tulis tradisional dengan menggunakan canting cawang juga tetap mendapatkan pasaran dan pelanggan, walaupun mendapat persaingan dari batik nithik cap.
Bila dicari sesiapa yang berperan dalam pengembangan batik nithik di Yogyakarta, perlu juga ditelusuri asal muasal batik yang dikembagkan oleh masyarakat Majapahit dan sebelumnya, karena para seniman Arca, mereka sudah menggambarkan pakaian (kain panjang) yang dipakai oleh isteri raja di Singosari, yaitu Ken Dedes, sudah menggunakan motif hias batik. Apakah seniman patung yang menciptakan motif hias batik, ataukah pengrajin pakaian yang tempo dulu telah menghias kain tenun dengan motif hias batik, itu dapat ditelusuri dari sejarah visual (arca-arca) peninggalan sejarah.
Ada penulis yang menuliskan bahwa batik nithik itu dikembangkan oleh saudagar batik di Yogyakarta baru tahun 1950-an. Hal tersebut dapat diterima akal, sebab pada saat itu kemampuan menenun masyarakat dengan ATBM tumbuh dimana-mana, dan hasil tenunya baru kain mori mutih yang belum ada hiasannya. Dengan pertumbuhan ekonomi yang bagus, batik klasik di tahun 1950-an memang mempunyai pasar yang cukup bagus di seluruh tanah air. Pada saat itu batik merupakan barang mewah, yang dapat digadaikan. Tetapi setelah tahun 1970-an dengan datangnya kain tetoron, pasar batik menurun drastis. Para pengusaha batik yang kreatif saja yang mampu bertahan. Untuk itu salah satu bentuk kreasi batik nithik sebagai kreasi juga masih bertahan sampai sekarang. Apalagi dengan pengakuan dunia bahwa batik adalah kebudayaan non benda yang berasal dari Indonesia, keberadaan batik makin diperhitungkan lagi.
Wastra batik dari Museum tekstil Jakarta, Batik motif Nithik yang dibuat oleh pengrajin di sentra batik Kembangsongo, merupakan salah satu motif kekayaan batik Bantul, yang mendukung kegiatan ekonomi kreatif masyarakatnya. Sentra  batik tulis Nitik Kembangsongo yang terletak di Desa Trimulyo, Jetis, Bantul yang memiliki ciri khas motif batik yang disebut batik  Nithik atau Nitik. Motif ini terdiri dari unsur titik-titik besar dan kecil membentuk suatu pola-pola geometris, bentuk- bentuk bunga, daun, sulur, dan garis-garis panjang. Motif batik  Nitik  ini sekarang dipandang oleh konsumen batik tulis terkesan monoton dan miskin inovasi bentuk dan hasil pewarnaan yang hanya  berwarna biru wedel sogan coklat. Keunikan yang dimiliki oleh sentra batik Kembangsongo dan ini tidak dimiliki oleh sentra  batik tulis dimanapun adalah dengan membuat canting cawang. Canting ini sebenarnya canting yang digunakan untuk membatik tulis yaitu canting klowongan/rengrengan (di unduh 28 Sep.2016).

Penutup
Tulisan ini sengaja tidak disimpulkan, biarlah pembaca ikut berpikir kreatif dan apresiatif untuk membuat kesimpulan sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar