Sabtu, 10 September 2016

MAKNA SELEMBAR KAIN BATIK



Saat ini masyarakat lebih gandrung lagi pada “batik”. Tempo dulu orang yang membatik itu adalah ibu-ibu yang sudah tua, dan kulitnya keriput, rambutnya dibiarkan tak disisir, dan sudah mulai memutih. Tetapi wajahnya ceria, dan penuh semangat. Lantas apa yang ada dibalik sosok pembatik yang demikian itu? Barangkali membatik tak sekadar menorehkan lilin panas pada selembar kain mori dengan menggunakan canting, tetapi ada rasa, ada zikir, ada konsentarsi, walaupun dilakukan di saat-saat waktu senggang. Tetapi kini di setiap daerah terutama di Jawa, setiap daerah Kabupaten dan Kota mempunyai batik yang merupakan ciri khas daerah, yang akhirnya menjadi pakaian seragam bagi pegawai pemerintah daerah tersebut. Selain itu, setiap daerah sudah mempunyai batik andalan, yang mencitrakan daerahnya, mulai batik yang bersifat tradisi maupun yang sudah dikembangkan. Ada beberapa daerah yang menjadikannya “batik” sebagai sarana upacara, seperti batik ”gringsing” yang ada di daerah Tenganan Bali.
 


Ada beberapa nama-nama yang sempat tercatat untuk batik yang khas daerah, seperti batik Bledak Sembagen di Pacitan, sebagai perwujudan batik yang digali dari pemikiran masyarakat yang tumbuh dari akar rumput. Batik Bledak Sembagen dengan warna coklat kehitaman, yang dapat ditemuai di Pasar rakyat di Slorok Pacitan. Batik ini tak pernah di tengok oleh masyarakat luas, karena di produksi oleh pengrajin kecil, dan murah harganya. Membatik bagi perajin kecil ibarat mencari sesuap nasi dengan mengandalkan ketrampilan yang bersifat turun-temurun. Uniknya batik ini mempunyai motif pokok berupa: (a) umbi-umbian; (b) dedaunan; (c) tumbuhan yang menjalar. Ketiga motif hias merupakan wujud ekspresi identitas bagi masyarakat dalam mengekspresikan kearifan daerah setempat sebagai wujud kebudayaan lokal.
Ada lagi batik yang tumbuh dan mengawali batik “gedok Tuban”. Batik gedok ini pada awalnya menunjuk pada proses pembuatan kain baik yang ditenun oleh masyarakat dengan ATBM (alat tenun mukan mesin) yang selalu menghasilkan suara “dok-dok-dok”. Dari hasil tenunan itulah menjadi bahan dasar untuk pembuatan batik gedok di Tuban, dan menghasilkan batik-batik kuno, dengan warna hitam dan putih. Kearifan lokal ini telah bergeser dikarenakan keperluan akan sandang sudah semakin semarak, sehingga kain gedok itupun sudah tidak diperoduksi lagi. Mestinya ATBM ini sebagai museum dan aset wisata di Tuban. Batik Gedok Tuban dengan motif hias Cukem, motif hias Satriyan, motif hias Kijing Miring, motif hias Krompol, motif hias Wal-awil, dan motif hias Grinsing sudah tak lagi nampak di pasaran, karena motif-motif ini sudah langka. Mestinya motif hias tersebut sebagai aset yang mengesankan bagi pedagang untuk direvitalisasi menjadi batik dasar.
Saat ini di Kabupaten Magetan di buat batik “pring sedapur” yang merupakan batik khas Magetan dan menjadi ikon yang populer. Mengapa memilih nama “pring sedapur” tentu saja itu semua berdasarkan pada kebudayaan lokal, yang merupakan suatu kearifan daerah setempat. Walaupun Magetan sudah tak banyak tanaman pring apus yang lebat, tetapi Magetan mampu mendatangkan pring apus dari daerah lain sebagai bahan baku untuk kerajinan ”caping”. Bahan baku ini sangat membantu pengajin anyaman bambu di Magetan yang jumlahnya mencapai lebih dari 900 orang pengrajin. Dengan demikian motif batik “Pring Sedapur”menjadi ikon bagi Kabupaten Magetan.
Ada lagi batik di Lamongan peninggalan Raden Rahmad, dengan nama “Byuurr” yang sangat filosofis, dan teknik membatiknya masih seperti batik Gedok Tuban pada masa awalnya. Batik ini sudah tidak muncul lagi, karena peminatnya tidak ada. Namun demikian batik ini mempunyai makna simbolik yang dalam dan nilai estetik yang terpadu sifatnya.
Makna Simbolik “Batik”
Dari namanya saja “batik”, mempunyai makna simbolik yang ganda, diantaranya : (a) serba titik (sarwo titik); (b) tibo nitik; (c) batik=nyerat. Makna simbolik adalah suatu kesepakatan atau konvensi, tetapi juga makna simbolik adalah sebuah analisis. Bila dikaitkan dengan proses dan “kirata basa” dari asal kata batik, yaitu serba titik, dapat dimaknai sebagai dasaran atau tanahan. Setiap batik mempunyai motif hias sebagai pengisi (iasen-isen), yang mempunyai makna menambah indahnya batik. Batik Gedok Tuban dengan nama-nama  seperti “cukem” dan “satriyan” semuanya hanya titik-titik dan titik-titik itu berwarna hitam. Berkaitan dengan proses pewarnaan batik yang titik-titiknya berwarna hitam adalah menunjukkan teknik setelah proses “panembokan”, yaitu suatu proses menutup bagian-bagian yang kosong diantara motif hias pokok dan motif hias tambahan. Titik hitam dicapai dengan menusuk-nusuk bagian yang sudah ditutup dengan lilin dengan menggunakan duri dari tanaman jeruk. Sehingga menghasilkan serapan warna pada lubang-lubang hasil tusukan itu.
Berbeda dengan “tibo nitik” yang artinya memberikan titik-titik pada bidang yang kosong diantara motif hias batik dengan cara meneteskan lilin dengan menggunakan canting, dan tetesan itu mempunyai durasi yang sama dan ukuran yang sama. Proses ini memerlukan suatu konsentrasi sambil berzikir kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Do’a seorang pengrajin batik adalah “diberi kemudahan, dan kelancaran dalam membatik, diberikan keselamatan sampai hasil batik itu selesai”. Doa tersebut diucapkan diawal membatik karena pengrajin batik bekerja dengan api dan lilin panas. Dengan demikian batik adalah satu strategi untuk melakukan “konsentrasi” dan juga “kontempalsi” agar ekspresi membatik itu menghasilkan suatu karya yang disenangi oleh masyarakat banyak (orang ramai).
Perkembangan dari serba titik dalam batik di tempo dulu, pada perkembangannya titik-titik itu menjadi garis-garis kontur dari pada motif hias. Motif hias dalam bahasa Inggeris disebut “ornament” , dan juga sebagai unsur batik. Motif hias pokok akan ditempatkan sebagai bagian yang pokok, dan di sela-selanya dibuat motif hias tambahan, sedangkan bila masih ada ruang pada satu lembar kain batik di isi motif hias isen-isen termasuk titik-titik. Sehingga terjadilah kumpulan dari berbagai motif hias yang menjadi satu bagian (kumpulan) disebut sebagai “ragam hias” (ornaments), yang menjadi satu “pola” (pattern). Pola inilah yang menjadi satu kesatuan utuh dari sebagian batik, karena pola ini boleh disambung-sambung dan menjadi batik yang berukuran 250 cm dan lebar 115 cm. Dengan demikian membatik melalui tahapan proses yang sangat rumit, dan dengan perkembangan teknologi ini yang namanya “batik tulis” mempunyai penghargaan yang berbeda bila dibandingkan dengan “batk cap”. Batik cap ini adalah suatu sistem membuat stampel (cop), yang isinya adalah satu pola batik. Dengan perkembangan teknologi, batik akhirnya dicetak dengan printing (cetak saring)/sablon, menghasilkan batik printing. Sistem printing ini bila menggunakan mesin modern namanya menjadi “kain bermotif batik”. Jadi ada beberapa nama batik, yaitu: (a) batik tulis, (b) batik cap; (c) batik printing; dan (d) kain bermotif batik. Masyarakat umum tidak dapat membedakan berbagai proses batik, yang mereka ketahui pada umumnya adalah “pakain batik”.

Fungsi Batik
Secara umum batik digunakan untuk “pakian”. Ada beberapa model dan jenis pakaian bila di tinjau dari fungsinya, misalnya batik untuk pakaian wanita yang disebut “jarit/jarik”, ada juga “sarong batik”, “selendang batik”, ada juga “iket batik”, yang fungsi dan penempatannya juga berbeda-beda. Secara tradisional fungsi batik itu dapat dikelompokkan pada empat hal, yaitu : (a) batik untuk menerima bayi lahir; (b) batik untuk pakaian temanten; (c) batik untuk keranda orang yang meninggal dunia; dan (d) batik untuk pakaian umum.
Dari berbagai fungsi penggunaan batik, secara analitis batik juga berfungsi sebagai “kekerabatan”, yang artinya pada saat-saat keluarga mempunyai hajatan, maka batik akan dipakai oleh keluarga dan teman yang datang pada acara hajatan tersebut. Saat melaksanakan pernikahan, para sanak-kadang (kerabat keluarga) pada umumnya menggunakan batik sebagai pakaian resmi yang digunakan pada acara tersebut. Dengan demikian batik berfungsi sebagai kekerabatan.
Batik juga mempunyai fungsi sosial ekonomi, karena batik berkait erat dengan proses pembuatan yang memerlukan tenaga kerja yang diberi upah/gaji, berkait erat juga dengan proses jual-beli di masyarakat. Bahan batik dan hasil batik merupakan aset dalam sistem ekonomi. Bahkan pada perkembangannya tidak hanya batik secara fisik yang difungsikan sebagai sosial ekonomi, tetapi “desain” batik mempunyai peran yang sangat penting dalam percaturan sosial ekonomi di masyarakat. Pada setiap perkembangan keperluan terhadap batik, desain batik disesuaikan dengan keperluan perkembangan zaman, perkembangan keperluan desain untuk remaja, untuk anak-anak, dan juga untuk lembaga (sekolah dan juga seragam PNS). Batik diperlukan oleh masyarakat, maka perajin batik akan menyediakan  dan memproduksinya sesuai permintaan tersebut. Sehingga ada keselarasan antara penyedia dan pembeli.
Batik juga berkait erat dengan fungsi pendidikan. Batik menjadi salah satu mata ajar dalam pembelajaran seni budaya di sekolah, dan bahkan menjadi bahagian khusus dari mata kuliah pada Institut tekstil. Saat ini dalam kurikulum 2006 (KTSP) batik merupakan bahan ajar yang dapat diajarkan mulai dari sekolah dasar sampai di tingkat sekolah lanjutan. Selain itu batik sebagai media pembelajaran non formal, yaitu pendidikan batik yang berlangsung di masyarakat dengan sistem “cantrik”. Artinya masyarakat belajar membatik dari keluarganya, atau teman dekatnya, dan belajar membatik dari para pengrajin batik. Awal mulanya ia ditugasi untuk memindah pola, pada perkembangannya ditugasi untuk mempola batik dengan lilin, dan memberi warna, serta proses pelorotan lilin, itu semua sebagai pengetahuan yang dikaji dari lapangan secara langsung, tanpa menggunakan teori yang rumit. Pembelajaran batik di masyarakat dapat dilakukan pada waktu yang pendek, dapat melalui kursus, dan juga dapat belajar langsung kepada pengrajin batik yang berpengalaman.
Batik juga mempunyai fungsi sebagai ritual dan keagamaan. Secara khusus di daerah tertentu, batik merupakan wahana untuk ritual bagai agama di Desa Tenganan bali. Desa ini terletak di kawasan Bali Timur dekat dengan Gowa Lawa, yang mempunyai penduduk sekitar 500 orang lebih. Mereka menamakan sebagai Baliaga (penduduk Bali asal) yang menganut agama Surya, dan berbeda dengan agama Hindu Bali. Salah satu sarana beribadatnya adalah membatik yang memerlukan waktu yang lama, karena bahan-bahan seluruhnya ada di desa tersebut. Ada tanaman Kapas sebagai bahan menenun, dan kain tenunan itu dijadikan batik dengan pewarna alam yang berdada di desa tersebut. Batik Tenganan ini disebut sebagai Batik Grinsing, yang mempunyai makna sebagai “tolak bala”. Proses ini adalah suatu persembahan kepada Sang Hyang Surya agar penduduk di lindungi dan di selamatatkan. Kata gringsing merupakan patahan kata : Gring (gering) dan Sing (tidak). Maknanya adalah tidak sakit alias sehat selalu. Pada masyarakat Islam batik juga sebagai sarana beribadat, yaitu sebagai sarong untuk menutup aurat bagi laki-laki atau perempuan. Tempo dulu sarong batik itu menjadi kebanggaan masyarakat, namun sekarang sarong sudah dikalahkan dengan tenunan dan kain bermotif tenunan. Terlebih lagi bila ada upacara keagamaam, seperti hari raya Idul Fitri, Idul A’da, dan Maulud Nabi Muhammad, warga pesantren tempo dulu memakai sarong batik.
Masih ada fungsi lain yang ada pada batik, iaitu sebagai fungsi “politik”. Batik sebagai produk kebudayaan, tentu berkait erat dengan politik. Saat ini motif batik beramai-ramai untuk di-patent-kan, karena masyarakat disadarkan oleh Malaysia untuk mematenkan motif batiknya. Hak patent adalah politik ekonomi global. Motif hias batik adalah aset bagi pengajin batik, sehingga dapat di klaim bahwa itu adalah batiknya. Misalnya batik Gajah Oling Banyuwangi, bahwa motif hias ini menjadi khas batik Banyuwangi, yang diawali dengan Bledak Gajah Oling, dan dikembangkan menjadi batik untuk masyarakat dengan khas motif Gajah Oling. Hal ini di ikuti oleh pemerintah daerah lain, sehingga mereka mengklaim sebagai batik yang khas. Contoh lain adalah Batik Malangan sebagai seragam pakaian bagi PNS di Kota Malang untuk pakaian Jas, dan juga untuk pakaian keseharian pada hari-hari tertentu. Sehingga batik ini tidak lagi di jual dipasaran, tetapi hanya untuk pakaian seragam bagi pegawai di Kota Malang.
Penutup
Memaknai batik menjadi unik, karena batik tumbuh di daerah didasari oleh kebudayaan daerah masing-masing. Setiap batik tradisi merupakan bagian dari kebudayaan lokal yang merupakan suatu kearifan daerah, dimana setiap daerah di Indonesia mempunyai kerafian lokal sebagai local genius. Masih ada bahasan berikutnya, yaitu Nilai Estetik yang ada pada batik, yang dapat diurai menjadi intra estetik dan ekstra estetik yang berkait erat dengan kosmologi Jawa (Kiblat Papat Lima Pancer) dan berkait erat dengan peri kehidupan lingkungan (tri hita karana).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar