Senin, 19 September 2016

SENI KRIYA, SOSIO PSIKOLOGIS PROSES BERKARYA YANG MULTI KOPETENSI


Sementara banyak orang beranggapan bahwa ketrampilan kerajinan itu mempunyai nilai seni yang difokuskan pada kompetensi fungsi. Nilai kekriyaan itu hanya bersifat “tukang” yang hanya mengerjakan sesuatu yang bersifat “trampil”. Pandangan Prof. Dr. I Made Bandem (2002) kata “kriya” dalam bahasa indonesia berarti pekerjaan (ketrampilan tangan). Di dalam bahasa Inggris disebut craft  berarti energi atau kekuatan. Pada kenyataannya bahwa seni kriya sering dimaksudkan sebagai karya yang dihasilkan karena skill atau ketrampilan seseorang. Pengkriya atau pengrajin, mereka pada umumnya mempunyai tingkat ketrampilan yang mahir, dan tingkat kemahiran yang menjadi energi dalaman itu membuahkan hasil seni kriya yang bernilai tinggi. Kekuatan untuk menghasilkan karya seni kriya yang bernilai tinggi itu merupakan kekuatan ungkapan pengalaman yang digelutinya selama ber tahun-tahun, sehingga apa yang ditekuninya tersebut merupakan energi dari nalar melalui tangan-tangan terampilnya, yang mampu menghasilkan karya yang unik dan menarik. Denis Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang budaya, menyatakan ‘istilah kriya yang diambil dari kryan menunjukkan pada hierarki strata pada masa kerajaan Majapahit, sebagai berikut; “Pertama-tama terdapat para mantri, atau pejabat tinggi serta para arya atau kaum bangsawan, lalu para kryan yang berstatus kesatriya dan para wali atau perwira, yang tampaknya juga merupakan semacam golongan bangsawan rendah’.






 Hal ini akan sangat berbeda dengan “ekspresi kretaif” yang dimiliki oleh seorang pelukis. Seorang pelukis yang mempunyai jam terbang yang cukup, sehingga kapasitas ekspresi itu menjadi kekuatan yang disebutnya kreatif. Dan bila dua kata tersebut digabung menjadi satu kata, yaitu “ekspresi kreatif” akan menghasilkan kekuatan ekspresi yang bersifat kristal, dengan sadar tentang kompisisi yang merupakan kekuatan yang menjadi kesatuan artistik. Ekspresi kreatif merupakan upaya untuk “mencari dan menemukan” pada suatu tataran pengindraan kepada ranah dalam, sehingga pencarian dan penemuan itu menghasilkan sesuatu yang bernilai artistik dan estetik.



 Sosio Psikologis Proses Berkarya Seni Kriya

Proses berkarya dalam aktiviti menghasilkan seni kriya adalah merupakan suatu tahapan penyiapan mental untuk menghasilkan karya seni kriya. Berkenaan dengan obyek psikologi ini, maka yang paling mungkin untuk diamati dan dikaji adalah manifestasi dari jiwa itu sendiri yakni dalam bentuk perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, psikologi kiranya dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Berinteraksi dengan lingkungan sosial masyarakat dan kebudayaan yang dapat memberikan andil dalam proses kematangan sikologis seseorang. Dalam proses pematangan diri mempunyai makna belajar dari yang sederhana menjadi yang lebih kompleks. 
Pada kondisi ini pengrajin telah mempunyai pengalaman yang bersifat rutin tentang penyiapan bahan, ukuran, baha baku, bahan pendukung sampai bahan untuk menuntaskan karya akhir. Bahan-bahan yang bersifat material tersebut sangat dikenalinya dengan seksama, sehingga menghasilkan mutu yang diinginkannya. Dalam proses berkarya tersebut pengrajin dibantu oleh alat-alat penunjang proses kerja, seperti mesin dan peralatan bukan mesin (manual). Dengan kesiapan mental, kesiapan bahan, dan kesiapan alat penunjang tersebut para pengrajin mampu memproduksi karya lebih dari satu buah, dengan kategori bentuk dan struktur yang sama. Dengan didukung oleh kemampuan ketrampilan yang tinggi, maka proses berkarya ini dapat berjalan dengan mulus.Dengan demikian kompetensi sosio psikologis dalam proses berkarya bagi pengrajin ahli, mempunyai skor yang optimal.

Kompetensi Bagan Pengrajin

Pada ranah pendidikan, ketrampilan ahli ini dapat ditularkan melalui pecantrikan. Alih teknologi bagi pengrajin ahli kepada generasi berikutnya adalah melalui “pecantrikan” yang bersifat bertingkat. Didalam proses produksi seni kriya di berbagai daerah, seperti yang diungkap oleh Denis Lombard di berbagai daerah seperti di Bali dan Jogyakarta, dua daerah ini mempunyai karakter pecantrikan yang berbeda. Pengrajin Patung kayu di Bali itu pada umumnya para pengrajin dapat dikategorikan sebagai “tukang”. Karena di Bali produksi patung dibuat secara massal, karena permintaan pasar yang sangat banyak. Sebagai contoh patung kayu “bebek atau itik”. Penyiapan bahan baku untuk membuat patung kayu tersebut sudah di siapkan oleh pengusaha, dengan jenis kayu yang dipilih, dan tingkat kekeringan pada kayu tersebut. Pada umumnya kayu yang disiapkan adalah jenis kayu “cangkring”, dan itu telah disiapkan oleh pengusaha. Keperluannya cukup bayak mencapai ratusan meter kubik setiap harinya.





 Proses produksi yang beranting dan berkelanjutan itu dimulai dari penyiapan bahan baku, pemotongan kayu sesuai dengan ukuran, dan pembuatan bentul global yang telah disiapkan oleh ahlinya. Pada tahapan berikutnya adalah pembuatan patung yang bersifat kasar, yang dikerjakan oleh pengrajin yang berbeda dari pengrajin sebelumnya, yaitu membentuk patung itik sesuai dengan ukuran, dan setelah itu diserahkan kepada para pengrajin patung itik yang membuat bentuk detail dari patung itik dalam bentuk yang masih kasar. Setelah selesai hasilnya dierahkan kepada pengrajin pengahalus yang banyak dilakukan oleh para pengrajin wanita.


Begitu juga pengrajin batik di Solo dan Jogyakarta. Para perajin ahli itu terletak pada proses penulisan denga menggunakan canting pada motif batik yang telah dibuat oleh para pengrajin motif batik. Para pengarjin motif batik setiap hari akan merancang motif dengan beragam motif hias sebagai pola batik, dan motif hias batik tersebut diserahkan kepada pengrajin lain untuk dipindahkan pada kain mori yang akan di batik. Para pengrajin batik canting tulis, akan menggambar batik sesuai dengan pola motif hasi yang sudah ada. Pasca pemberian motif canting, berikutnya adalah proses pewarnaan batik yang dilakukan oleh para pengrajin pemberi warna batik. Pada proses berikutnya penghilangan lilin batik (nglorot) yang juga dikerjakan oleh perajin yang lainnya.
Nah, kompetensi bagan berarti bahwa para pengrajian melakukan aktiviti bagain demi bagian ini disebut sebagai kompetensi bagan, dan hal ini yang disebut sebagai “tukang” yang mana mereka hanya mempunyai keahlian pada bgian-bagian tertentu. Pada kompetensi bagan ini pengrajin sebagai unsur atau bagian dari proses pecantrikan secara menyeluruh. Artinya terjadi proses sosial berkarya, dari yang sederhana sampai yang kompleks dikerjakan banyak orang, yang merupakan hubungan sosial yang berpengaruh dalam perilaku proses berkarya.

Kopetensi Sosio Educatif

Kopetensi sosio educatif dapat berlaku di sekolah formal dan juga di masyarakat. Kompetensi sosio edukasi ini diuraikan pada tataran pembelajaran di sekolah, dan dipilih pada tingkat Sekolah Lanjutan Atas (SLTA). Ada dua hal yang diungkap pada kopentensi sosio educatif di tingkat SLTA ini, yaitu proses berkarya seni kriya pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sekolah Mengah Atas (SMA) umum, yang keduanya mempunyai kondisi sosio educatif yang berbeda. Siswa SMK memang dituntut untuk berkarya secara profesional, dan di dukung oleh laboratorium dan peralatan penunjang yang memadai. Pada siswa SMK di bidang kerajinan kayu akan menghasil produk-produk yang sesuai dengan kapasitas laku dijual (marketable). Sehingga hasil produknya betul-betul layak jual, seperti contoh berikut ini.
Dua karya tersebut dari sisi hasil memang dianggap hasil karya yang final, dengan tingkat kehalusan dan kekuatannya telah diperhitungkan secara jeli. Para pembimbing (guru) mempunyai tugas sebagai kontrol kualitas (Quality Control), dan memberikan persepsi kepada siswa untuk berkarya final yang layak jual. Hal ini di dukung oleh laboratorium dan peralatan penunjang yang sesuai dengan kompetensinya.




 Hal ini sangat berbeda dengan karya kriya di tingakat SMA, yang notabene bersifap parsial, karena merupakan bagian kecil dari materi ajar dalam bidang studi seni budaya. Kalau di SMK prodi kriya kayu, kurikulumnya menuntut pada kompetensi khusus, sedangkan kurikulum bidang studi seni budaya merupakan bagian kecil saja. Dari bentuk dan model kurikulumnya memang sudah berbeda. Seni kriya di SMA itu sangat tergantung pada kreativitas Guru yang mempunyai atensi dan perhatian pada seni kriya. Pada umumnya Guru Seni Budaya di SMA kurang memperhatikan kegiatan seni kriya, karena pengaruh lingkungan dan kurikulum yang terbatas. Hal tersebut juga ditujang oleh tidak ada laboratorium yang khusus untuk seni kriya di tingkat SMA. Berikut contoh seni kriya siswa SMA dalam aktivitas lomba.
 


Kompetensi educatif di masyarakat berlaku proses pembelajaran secara mandiri, dan juga berlaku dalam proses pecantrikan. Bila seseorang ingin belajar ketrampilan dalam proses berkarya seni kriya, ia akan mencari empu atau pengrajin mahir, yang dahulu disebut sebagai “mantri”. Hal ini boleh diambil contoh dalam dunia kesehatan, bahwa mantri kesehatan adalah orang yang mempunyai keahlian mengobati secara praktis dan tak berbelit-belit. Masyarakat mempercayai mantri kesehatan itu lebih “ces pleng” daripada dokter. Dengan pemikiran praktis tersebut maka penyebutan mantri adalah orang yang mampu memberikan ketrampilan yang mahir dan ditularkan kepada cantriknya secara bertahap dan berkelanjutan. Berikut ini contoh hasil kriya yang dihasilkan oleh perajin (masyarakat ahli) di bidang kriya anyaman.




 
Dengan demikian kopetensi sosio educatif itu berlangsung di pendidikan formal dan juga pendidikan non formal. Kopetensi sosio educatif mempunyai makna bahwa proses belajar menuju kapasitas mahir atau ahli akan memerlukan waktu yang berbeda antara di sekolah formal dan non formal. Di sekolah formal dengan kurikulum yang majemuk mempunyai kurun waktu yang lebih lama bila dibandingkan dengan proses kapasitas mahir di pendidikan non formal. Mahir dalam permasalahan teknik, akan berbeda dengan mahir dalam kapasitas kreatif.

Kopetensi  Kreatifiti dalam Lomba

Seni kriya dalam proses lomba, khusus untuk siswa SMA, mempunyai berbagai kreativitas yang muncul adalah pengembangan model yang di bina oleh Guru Seni Budaya di sekolah tersebut. Minat guru dalam memberikan materi kegiatan seni kriya sesuai dengan Kurikulum yang berjalan, mempunyai porsi yang sangat terbatas. Untuk itu perlu kiranya diulas dengan persepsi lomba. Kopetensi kreativitas muncul dengan berbagai media, diantaranya dari kertas koran, kulit telur, bambu, tempurung, plastik, semuanya di ekplor oleh peserta lomba. Lomba seni kriya tahun 2016 di tingkat propinsi Jawa Timur memunculkan beberapa proyek yang bernuansa kopetensi kreativitas. Berbagai model “jam penunjuk waktu”, muncuk dengan berbagai viasi dan model, seperti gambar berikut ini.
Pada umumnya proyek ini tidak dibarengi dengan teknik produksi yang betul-betul sahih dan layak jual. Kopetensi kreativitas muncul dari berbagai bahan, model dan motif, itu semua belum menunjukkan kualitas produksi yang prima. Teknik pengerjaan yang kurang kuat, serta sentuhan akhir ( finishing touch) dalam produk ini belum sempurnya. Kekuatan produksi sangat lemah, sehingga untuk mencapai kopetensi layak jual, tidak terpenuhi. Hal ini disebabkan pula oleh peralatan penunjang produksi yang tidak layak juga, sehingga untuk mencapai kulitas produk yang prima masih belum terpenuhi.

Penutup

Sekelumit tulisan ini diharapkan dapat menyentuh para guru seni budaya di SMA, agar mengembangkan kurikulum seni budaya yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Seni kriya jangan dipandang sebelah mata dalam menunjang kreativitas dan ekspresi. Apakah yang ekspresi menjadi lebih baik? Atau memudahkan guru untuk mengajar? Dua pertanyaan ini perlu jawaban yang konstruktif untuk mengembangkan pola-pola dalam silabus yang disusun oleh guru untuk pembelajaran. Kopetensi kreativitas dapat dijaring di berbagai model dan bentuk dalam proses belajar mengajar, sehingga seni kriya bukanlan mata pelajaran yang harus disingkirkan. 






 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar